Tuesday, May 5, 2009

SKINHEAD SEBUAH JALAN HIDUP PART III


BAB III:
Lahirnya Budaya Skinhead

Pada dasarnya Skinhead adalah gelombang baru dari budaya Mods yang sudah berkembang beberapa tahun sebelumnya. Pada awalnya mereka di sebut sebagai Hard Mods, sebuah sebutan yang mengacu pada dandanan, tingkah laku dan pola pikir mereka yang lebih keras dari pada Tradisional Mods. Para Skinhead ini lebih terkesan berandalan dari para pendahulunya, mereka lebih sering melakukan kekerasan, sebuah prilaku alami dari anak-anak kelas pekerja yang tak puas dengan kenyataan hidupnya. Satu hal yang perlu di ingat di sini bahwa sebenarnya kemunculan para Skinhead ini adalah sebuah penolakan terhadap cara berpikir Mods yang saat itu mulai kehilangan esensinya (Sebagian besar para Mods saat itu menjadi Hippies). Mereka adalah orang-orang yang menolak cara berpakaian Tradisional Mods yang saat itu sangatlah mahal dan tidak bisa di beli oleh anak-anak kelas pekerja seperti mereka.
Namun layaknya Mods, Skinhead pun sangat menghormati cara berpakaian yang necis dan rapih. Bedanya dengan Mods ide dasar dari fesyen Skinhead adalah bagaimana caranya agar terlihat rapih, necis, elegan, namun pada saat yang sama juga terlihat keras, gahar, dan berandalan. Hasilnya adalah sebuah dandanan yang benar-benar berbeda dengan para Mods, setelan jas mahal di tinggalkan, sebagai gantinya mereka memilih kaus kerah Fred Perry, kemeja Ben Sherman, Levi’s Staprest ataupun Levi’s Jeans 501, sebagai pelengkap adalah bretel untuk menahan celana agar tetap berada di atas pinggul, lalu jaket Harrington, jaket jeans atau Crombie (sejenis jas panjang). Sepatu dansa di gantikan dengan Industrial Boots, sebelum akhirnya Boots bermerk Dr Martens keluar di pasaran, dan menjadi pilihan yang lebih populer. Potongan rambut pun semakin hari di cukur semakin pendek, dalam beberapa kasus bahkan hampir botak sehingga orang-orang bisa melihat kulit kepala mereka di sela-sela rambut mereka yang sangat pendek, dari sinilah muncul sebutan ‘Skinhead’. Begitu pula dengan para wanitanya, potongan rambut merekapun sangatlah pendek, sebutan bagi potongan rambut seperti ini adalah Feather cut (sangat pendek pada bagian atasnya namun di biarkan tetap panjang pada bagian samping dan biasanya berponi pada bagian depannnya). Sebagai kendaraan Scooter tetaplah populer layaknya di kalangan Tradisional Mods, namun kini hal itu bukanlah lagi sebuah keharusan, bagi Skinhead scooter hanyalah sebagai kendaraan untuk bepergian bukan sebuah benda untuk di pamerkan pada teman-teman mereka, seperti di kalangan Mods, (jadi, punya bagus, tidak punya ya tidak apa-apa). Pakaian-pakaian itu menjadi pilihan mereka karena semua barang tersebut harganya murah dan terjangkau oleh kantong anak-anak kelas pekerja saat itu. Hal lain yang menjadi alasan pemilihan pakaian tersebut adalah karena semua pakaian itu lebih cocok sebagai “seragam dinas perkelahian di jalanan” ketimbang setelan jas ala Tradisional Mods, walaupun sepatu dansa dan setelan jas tetap di pakai dalam beberapa kesempatan. Layaknya Rude boy di Jamaika, kekerasan pun adalah hal yang sangat identik dengan budaya Skinhead. Perkelahian jugalah yang menjadi alasan kenapa Boots menjadi pilihan, terutama yang di lapisi baja pada ujungnya (Steel Toe), sehingga bisa di jadikan senjata untuk mencederai lawan. Begitu jugalah alasan kenapa potongan rambut “hampir botak” menjadi pilihan mereka, yaitu agar rambut itu tak bisa di jambak saat bekelahi dengan musuh, dan di era itu biasanya para laki-laki memelihara cambang, itu jugalah yang di lakukan para Skinhead ini. Perkelahian inilah yang membuat reputasi mereka buruk di kalangan masyarakat umum, Skinhead adalah berandalan jalanan yang di tolak keberadaannya oleh masyarakat.
Pada akhir tahun 1968 jumlah para Hard Mods semakin banyak, seiring semakin banyaknya anak-anak muda kelas pekerja yang menolak pola pikir Mods tradisional. Gank-gank Hard Mods pun bermunculan di kota-kota seperti London, Birmingham, Liverpool, New Castle dan Glasgow ( Gang nya yang bernama Glasgow Spy Kids sangat terkenal hingga hari ini akan reputasi kekerasannya ). Pada awalnya sebutan bagi mereka berbeda-beda di setiap kota, yang paling umum adalah Clean Heads, Shave Heads, Spy kids dan Peanuts (mengacu pada bunyi scooter yang di kendarai mereka). Di tahun 1969 penolakan terhadap budaya Mods kelas menengah yang saat itu sudah tercemar pola pikir generasi bungapun semakin menjadi-jadi, pemisahan antara tradisional Mods yang telah berevolusi jadi Hippies dan Hard Mods / Skinhead pun tak terhindarkan lagi. Para Hippies yang rata-rata kelas menengah inilah yang menjadi musuh utama para Skinhead. Perkelahian yang berujung pada kekerasan ini terjadi di setiap kesempatan mereka bertemu, namun yang paling besar terjadi di Bank Holiday tahun 1968 dan 1969, di sinilah Skinhead menjadi perhatian media untuk pertama kalinya.
Satu hal lagi yang membentuk budaya Skinhead adalah kerusuhan yang terjadi di teras sepak bola. Inggris memang adalah sebuah negara dengan budaya sepak bola yang kuat mengakar. Semenjak kemenangan Inggris di Piala Dunia tahun 1966 sepak bola menjadi semakin menarik perhatian anak-anak muda Inggris saat itu. Tradisi menonton sepak bola di akhir pekan bersama para Ayah sedikit demi sedikit mulai menghilang, seiring dengan pekerjaan paruh waktu yang banyak di lakukan anak-anak kelas pekerja saat itu yang membuat mereka mempunyai uang sendiri untuk membeli tiket masuk ke petandingan sepak bola. Kekerasan dan Hooliganisme memang sudah membudaya di dunia persepak bolaan Inggris selama berabad-abad sebelumnya, namun memasuki era 60-an hal itu semakin terorganisasi. Para hooligans ini kebanyakan adalah para Hard Mods yang tampil gahar dengan jeans dan sepatu boots seperti yang di paparkan di atas. Hooliganisme terorganisasi atau lebih di kenal dengan sebutan ‘Firm/Mobs’ ini semakin mewabah di musim kompetisi 1968 – 1969. Saat itu hampir semua tim wilayah selatan dan utara Inggris mempunyai gank hooligan yang semua anggotanya adalah Skinhead. Mereka biasanya membuat kerusuhan tak hanya di luar lapangan, tapi juga di dalam lapangan, berkelahi dengan suporter lawan dan tentunya dengan polisi. Dalam waktu singkat media seperti The Sunday Mirror, Suns dan The Football mail mengasosiasikan Skinhead dengan kerusuhan tersebut. Pada awalnya berita tersebut biasa-biasa saja namun lama kelamaan pemberitaan itu semakin berlebihan dan berat sebelah, menempatkan Skinhead sebagai terdakwa tunggal bahkan jika kerusuhan tersebut bukan terjadi karena ulah mereka. Perkelahian dan kerusuhan terjadi hampir di tiap pertandingan, terutama di wilayah utara di mana sepak bola dan budaya Gank suporternya lebih populer ketimbang berdansa di club malam seperti di selatan Inggris. Perkelahian yang semakin sering terjadi membuat para Skinhead merasa perlu untuk mempersenjatai diri. Boots kini di rasa tak lagi cukup, kini mereka mempersenjatai diri dengan pisau belati atau pisau lipat yang biasa di gunakan untuk mencukur rambut (Razor). Senjata tersebut bahkan kemudian di gunakan dalam perkelahian melawan Hippes, Rockers, Greaser, dan Hell Angels. Skinhead kini semakin identik dengan kenakalan remaja bahkan kekerasan dan kejahatan serius, hal itu membuat mereka di waspadai keberedaanya oleh masyarakat terutama polisi. Berkelahi di jalanan, membuat rusuh di teras sepak bola, memukuli Hippies, (bahkan) Mods di Bank Holiday, ya… budaya baru ini benar-benar identik dengan kekerasan. Tapi ada saat di mana mereka meninggalkan Ya…..!!! Hal berikutnya yang membentuk budaya Skinhead yang berasal dari budaya Mods dan akan di pegang teguh oleh para Skinhead sampai kapanpun adalah kecintaan mereka kepada musik kulit hitam sperti RnB, Soul (keluaran Tamla, Stax dan Motown ) dan musik Ska / Reggae asal Jamaika. Yang membedakan Skinhead dengan Mods dalam hal musik yang di dengarkan adalah: Mods memang sangat menyukai Soul dan Ska (mereka menyebutnya Bluebeat, nama label yang merilis Prince Buster di Inggris ), namun hasrat utama mereka adalah lagu-lagu dari The Who dan The Small Faces, sedangkan Skinhead lebih suka mendengarkan musik Jamaika yang saat itu telah berevolusi menjadi Reggae, ya….Skinhead sangat identik dengan musik Reggae. Kenapa para Skinhead mengadopsi Reggae sebagai musiknya telah banyak di perdebatkan saat ini. Teori pertama adalah hal itu di sebabkan oleh para Skinhead ini tinggal bertetangga dengan para imigran Jamaika sehingga ada interaksi budaya di antara mereka, salah satunya adalah musik Reggae. Hal tersebut menyebabkan para Skinhead ini terpengaruh oleh budaya dan penampilan Rudeboy di Jamaika, termasuk celana yang di perpendek atau di gulung di atas mata kaki untuk memperlihatkan Boots 8 atau 10 lubang yang saat itu populer di kalangan para Skinhead. ‘Baik Mods dan kemudian Skinhead sangat mencintai dan terinspirasi oleh budaya Rude boy Jamaika, dan menggabungkannya dengan budaya kelas pekerja Inggris untuk membentuk sebuah budaya baru yaitu budaya Skinhead’. Teori kedua adalah hal ini di sebabkan oleh warisan dari budaya Mods dan terlebih lagi karena kepopuleran Ska yang semakin meningkat semenjak lagu My Boy Lollypop (Millie Small) bertengger di posisi nomor 1 di tangga lagu nasional Inggris pada tahun 1964. Teori ke tiga adalah hal ini di sebabkan oleh harga piringan hitam Reggae yang saat itu murah, sehingga mudah bagi para Skinhead untuk mendapatkannya. Namun teori yang paling banyak di setujui adalah: pengadopsian Reggae sebagai musik Skinhead saat itu di sebabkan oleh penolakan mereka terhadap musik Progresif Rock ala band-band Woodstock seperti The Cream dan Jimmy Hendrix yang di sukai oleh para Hippies, ya…. Skinhead adalah sebuah budaya penolakan terhadap budaya Hippies yang cenderung kelas menengah. Namun apapun alasannya, pada saat The Pioneers merilis Longshot Kick The Bucket dan mencapai sukses di bulan oktober 1969, lalu di susul dengan lagu Desmond Dekker yang bejudul Israelites yang meraih posisi pucak pada akhir tahun 1969, Skinhead dan Reggae pun menjadi semakin identik, dan munculah sebutan baru bagi genre musik ini: ‘Skinhead Reggae’. Namun hal utama yang membuat Skinhead tertarik pada Reggae tentulah iramanya yang riang dan mengajak tubuh secara alami untuk berdansa. Kenyataanya lirik lagu tidaklah penting karena sedikit sekali Skinhead saat itu yang mengerti bahasa ‘slang’ Jamaika yang di gunakan dalam lagu-lagu Reggae. Buktinya adalah: Israelites-nya Desmond Dekker boleh saja laku sebanyak 8 juta copy di seluruh dunia saat itu, tapi coba tanya apa isi dari liriknya pada 10 orang Skinhead maka kau akan mendapatkan 10 jawaban berbeda pula. ‘Dan itulah hal-hal yang membentuk Budaya ini, dari Gang Hard Mods di jalanan dengan scooternya, Bootboys / Hooligans di teras sepak bola, dan Rude boy di lantai dansa datanglah anak-anak kelas pekerja bernama Skinhead….’
Musik Ska Jamaika memang sudah masuk ke Inggris semenjak awal dekade 60-an dan sempat populer di pertengahan dekade tersebut. Itu semua berkat kepiawaian para promotor musik yang memboyong artis-artis Jamaika ke Inggris seperti Christ Blackwell pemilik Island Records. Namun hal yang terjadi pada Ska tersebut berbeda dengan hal yang terjadi pada Reggae. Walaupun secara teori Reggae adalah ‘bentuk baru’ dari Ska, hal tersebut tidaklah membuat Reggae langsung populer di Inggris. Pada awal masuknya Reggae ke daratan Inggris di tahun 1968, stasiun-stasiun radio dan media musik hampir tak memberikan dukungan pada Reggae. Kenyataanya bahkan mereka mengkritisi Reggae sebagai musik yang masih mentah (Reggae kadang-kadang hanya menggunakan 2 kunci gitar dan berdurasi 2 atau 3 menit, benar-benar kontras dengan Progresif Rock yang rumit dan berdurasi 6 sampai 8 menit), lebih dari itu mereka menyebutnya sebagai musik ‘yobbo (kasar dan Bodoh)’. Asosiasi Reggae dengan Skinhead pun membuat musik ini di jauhi pasar mainstream. Akibatnya jika tak ada publikasi dan pemberitaan di media tentu saja tak akan bisa masuk tangga lagu dan sedikit sekali toko yang mau menjual piringan hitam artis-artis Reggae seperti Bob Andy, Desmond Dekker dan Toots and The Maytals. Saat itu Reggae hanya di putar di pub-pub dan club-club malam seperti Ram Jam club, Golden star club, The Ska Bar, dll, yang sebagian besar pengunjungnya adalah para Skinhead, yang segera mengadopsi musik ini sebagai bagian terpenting dari budaya baru mereka. Namun seiring semakin membesar dan mewabahnya budaya Skinhead di Inggris, maka Reggae pun semakin populer, hal inilah yang mengantarkan lagu-lagu Reggae ke puncak tangga lagu nasional, lalu tiba-tiba saja Reggae menjadi kesukaan semua orang, bukan hanya Skinhead saja.
Perusahaan rekaman paling terkemuka yang memproduksi dan menyalurkan rekaman piringan hitam Reggae saat itu adalah Trojan Recods. Perusahaan ini di dirikan oleh Island Records dan Beat and Commercial Company (B & C) di tahun 1968. Tapi kemudian Christ Blackwell si pemilik Island records menarik diri dari kepemilikan saham Trojan records, menyerahkan seluruh perusahaan itu pada Lee Goptal pemilik B & C company yang tadinya adalah seorang akuntan. Saingan utama dari Trojan records adalah Pama records dan label-label yang di subsidinya yang merupakan milik dari Harry Palmer dan dua orang saudaranya. Masing-masing label tersebut mepunyai artis-artisnya sendiri-sendiri yang populer di kalangan Skinhead saat itu. Di pihak Trojan ada artis-artis seperti: Desmond Dekker, Judge Dread, Toots and The Maytals, Harry J allstars, The Pioneers, The Maytones, Joe white, Clancy Ecccles, Symarips dan banyak lagi, sedangkan di pihak Pama ada: Laurel Aitken, Derrick Morgan, Pat kelly, The Marvels, Alton Ellis, The Upsetter dan banyak lagi. Persaingan antara kedua label ini di manfaatkan oleh produser-produser Jamaika yang tidak jujur untuk menghasilkan uang lebih banyak, tak jarang mereka teken kontrak dengan kedua label tersebut tanpa sepengetahuan salah satu dari mereka. Namun persaingan ini di menangkan oleh Trojan, dengan lebih dari 40 buah label yang di subsidinya, label itu menguasai 80 % pasar musik Reggae saat itu. Pada akhir tahun 1969 Trojan merilis sebuah hits Reggae yang kelak menjadi sangat legendaris dalam budaya Skinhead, yaitu Skinhead Moonstomp oleh Symarips (alias The Pyramids). Skinhead Moonstomp ini kemudian bahkan menjadi semacam standar bagi lagu-lagu Skinhead Reggae, padahal irama-nya adalah jiplakan dari Moonhop-nya Derrick Morgan yang di rilis oleh Pama. Terlepas dari hal tersebut Skinhead Moonstomp adalah lagu Reggae pertama yang membahas Skinhead dalam liriknya, hal itu membuat Skinhead kini seakan punya corong publikasi tersendiri, terlebih lagi hal itu membuat semakin kuatnya hubungan emosional antara artis-artis Reggae Jamaika dengan para Skinhead, anak kelas pekerja Inggris yang menjadi fans utamanya. Skinhead Moonstomp kemudian di susul oleh lagu-lagu lain yang menjadikan Skinhead sebagai objek bahasan dalam lirik, diantaranya adalah Skinhead girl, Skinhead Jamboree ( The Symarips ), Skinhead shuffle ( The Mohawk ), Skinhead Train ( Laurel Aitken ), Skinheads don’t fear dan Skinhead Moondust ( The Hot Rod All stars ), Skinhead Revolt ( Joe The Boss ), Skinhead a message to you ( Desmond Riley ), Skinhead a Bash them ( Claudette and The Corporation ), dan masih banyak lagi. Populernya Skinhead Reggae di Inggris saat itu bahkan kemudian membuat Ska dan rocksteady kembali populer di lantai-lantai dansa klub-klub malam. Musik favorit lainnya di kalangan Skinhead saat itu adalah musik Soul Amerika yang lebih di kenal dengan istilah ‘Northern Soul’ yang di rilis di bawah label Tamla Motown, Stax dan Atlantic Records. Artis-artis-nya di antara lain adalah Martha Reeves and The Vandelas, Smokey Robinson, Aretha Franklin, The Miracles, The Supremes, Ray Charles, dll, yang sudah ngetop semenjak awal dekade 60-an. Tidak seperti Reggae, Soul mendapatkan dukungan publikasi penuh dari media, sehingga lebih populer di kalangan umum, namun Reggae tetaplah musik nomor satu bagi para Skinhead. Bahkan di awal tahun 1970 di adakan Carribean Music Festivals yang di hadiri 9000 penonton, di susul dengan The UK Reggae Tour yang menampilkan The Upsetter, The Pioneers, Jimmy Cliff, Harry J Allstars, Desmond Dekker, Max Romeo, dll, yang berkeliling Inggris selama 4 minggu. Klub-klub kenamaan di London pun secara reguler menampilkan artis-artis Jamaika. Reggae benar-benar populer saat itu, dan fans fanatiknya adalah Skinhead, bahkan tak sedikit dari mereka yang menjadi kolektor serius musik Jamaika. Beberapa di antara mereka bahkan menjadi DJ Reggae dan memulai bisnis sound systemnya sendiri. Bahkan ada semacam peraturan tak tertulis saat itu, yaitu semakin banyak koleksi yang di miliki seorang Skinhead maka ia akan semakin di hormati, tak heran Skinhead saat itu menghabiskan sebagian besar uangnya untuk membeli piringan hitam Reggae.
Memasuki era 70-an budaya Skinhead menjadi semakin besar dan semakin jauh meninggalkan ‘bapaknya’ para Mods. Budaya ini semakin identik dengan kekerasan, seiring dengan pemberitaan di media massa yang semakin hari semakin memojokkan mereka. Saat itu semakin banyak anak-anak muda yang bergabung dengan budaya ini, sayangnya mereka terpengaruh dengan reputasi Skinhead yang di bentuk oleh media, sehingga mereka kira Skinhead hanyalah tentang kekerasan, rusuh di stadion sepak bola dan memukuli siapapun yang tidak mereka sukai. Kelak reputasi kekerasan ini semakin di perparah dengan turut campurnya kekuatan politik sayap kanan yang menyusupi budaya Skinhead. Semenjak tahun 1971 musik Reggae di Jamaika sendiri berubah seiring dengan merebaknya paham Rastafarian (sebuah paham yang mengajarkan bahwa Ras kulit hitam di luar Afrika harus kembali ke Afrika, Tanah yang di janjikan bagi mereka) di negeri itu. Reggae tiba-tiba adalah tentang Zion, Jah, Babylon, dan semua hal berbau afrika, tak ada lagi lagu-lagu tentang para Skinhead di daratan Inggris, hal ini tentu saja seakan memutus hubungan emosional antara Jamaika dan budaya Skinhead. Musik soul sendiri kini telah berevolusi sedemikian rupa menjadi musik Disko, membuat Skinhead semakin kehilangan Jati dirinya. Kini hanya tinggal kekerasan sajalah yang menjadi identitas budaya ini, tiba-tiba saja kau adalah orang yang bersalah di mata masyarakat jika kau adalah seorang Skinhead. Hal ini membuat para Skinhead yang lebih tua dan merupakan pelopor budaya ini semakin muak dengan keadaan saat itu. Semakin kau tua maka kau semakin dewasa dan tak mau lagi melakukan hal-hal bodoh seperti berkelahi di jalanan tanpa tujuan yang jelas. Memasuki tahun 1972 budaya Skinhead semakin kehilangan arahnya, tapi budaya ini tidaklah musnah atau hilang begitu saja layaknya sebuah trend, kenyataanya budaya Skinhead terus berkembang seiring lahirnya generasi baru budaya ini…..cerita ini pun berlanjut dengan para tokoh yang merupakan ‘anak-anak’ dari budaya Skinhead yang bernama: Suedehead, Smoothies, Bootboys, dan Clockwork Skinhead………

No comments:

Post a Comment