Tuesday, May 5, 2009

SKINHEAD SEBUAH JALAN HIDUP PART V

BAB V

Infiltrasi Fasisme Ke Dalam Budaya Skinhead

Seperti di paparkan sebelumnya, Skinhead sangat terkenal akan reputasi kekerasannya, baik di teras sepak bola, di jalanan, atau di manapun Skinhead selalu di asosiasikan dengan kekerasan. Kekerasan ini biasanya mereka lakukan terhadap musuh-musuh budaya mereka seperti Hippies, Greasers, Teds, ataupun Hell Angels, namun yang paling menjadi perhatian nasional adalah kekerasan Skinhead terhadap orang-orang Asia yang hidup di Inggris, terutama imigran asal Pakistan. Hal yang lebih dikenal dengan istilah Paki Bashing atau Paki Aggro ini sangat sering terjadi, di liput besar-besaran oleh media dan bahkan menjadi topik utama yang di bahas antara pemerintah Inggris dan Pakistan saat itu. Padahal kenyataannya bukan hanya orang Pakistan saja yang menjadi korban kekerasan para Skinhead, orang India, Bengali, dan bangsa-bangsa asal Asia lainnya pun menjadi korban dan di beri label Paki. Bentuk kekerasan yang paling umum adalah para Skinhead memukuli para imigran tersebut dalam setiap pertemuan mereka atau merusak toko-toko mereka, dan berbagai tindakan vandalisme lainnnya. Seketika itu juga Skinhead di identikkan dengan Rasisme, lagi-lagi terima kasih kepada media yang dengan suksesnya membunuh karakter budaya ini. Padahal sebenarnya hal itu bukanlah sekedar kekerasan Rasial seperti yang di beritakan oleh media, karena pada kenyataannya bukan hanya Skinhead kulit putih Inggris saja yang melakukan hal tersebut, anak-anak muda keturunan Yunani, anak-anak Ras campuran, bahkan para Skinhead berkulit hitam (Affro Boys) pun ikut terlibat dalam aksi-aksi penyerangan terhadap orang-orang Asia.Yang membuat para Skinhead melakukan penyerangan terhadap mereka adalah karena kebanyakan dari para Imigran ini tidak mau berbaur dan malah menjauhkan diri dari masyarakat Inggris umumnya. Tidak seperti para imigran asal Jamaika yang hidup berdampingan dan berbaur dengan masyarakat Inggris, Orang-orang Asia ini hidupnya sangat eksklusif dan terpisah dari masyarakat ‘negara baru’ mereka. Mereka mempunyai Kafe, Pub dan Bioskop sendiri di mana para Skinhead dan orang-orang kulit putih Inggris tak boleh masuk ke sana. Mereka tidak mau berbahasa Inggris, bersosialisasi hanya dengan sesama mereka dan tak pernah mau menjadi bagian dari masyarakat negara di mana mereka tinggal, jauh berbeda dengan orang-orang Jamaika yang tak sedikit kontribusinya bagi budaya kelas pekerja Inggris, ya….budaya Skinhead. Mereka hanya menjadikan Inggris sebagai tempat mereka bekerja dan mencari uang, lalu mengirimnya kepada keluarga di negara asal mereka. Rasanya tak ada penduduk negara manapun yang mau hidup berdampingan dengan para imigran tak tahu diri seperti itu. Sikap dan tingkah laku para imigran inilah yang menyebabkan para Skinhead marah sehingga terjadi Paki Bashing, jadi bukannya karena warna kulit mereka. Namun apa yang di lakukan para Skinhead itu menjadi hal yang salah ketika pihak lain (sesudah media) ikut campur dan memperkeruh suasana, mereka adalah para Politisi penganut Fasisme…
Adalah Enoch Powell, seorang politisi ambisius dan pembangkang yang memulai catatan hitam dalam sejarah Skinhead ini. Pada April 1968 ia berpidato di depan majelis perwakilan tinggi Inggris, dan pidato yang berjudul Rivers of Blood itu membuatnya kehilangan posisinya di kabinet. Pidato tersebut berisi pengecaman dan sentimental Rasisme secara langsung terhadap para imigran kulit berwarna. Enoch mengatakan bahwa para imigran kulit berwarna dari Jamaika, Afrika dan Asia lah yang harus di salahkan atas permasalahan langkanya pekerjaan dan perumahan di Inggris saat itu. Ia menerangkan dengan berapi-api bahwa mereka adalah saingan bagi penduduk asli Inggris dalam mencari penghidupan dan perumahan, sedangkan mereka tidaklah punya hak di negeri itu. Ia menyerukan agar segera di adakan penngusiran besar-besaran terhadap para imigran asal Jamaika, Afrika dan Asia tersebut. Rivers of Blood mungkin saja membuat Enoch di kucilkan dari kancah perpolitikan Inggris, namun pidato tersebut mendapatkan sambutan hangat dari sebagian besar masyarakat Inggris terutama kelas pekerja yang merasakan langsung akibat dari membanjirnya imigran saat itu. Ia menarik simpati sepuluh ribu orang yang berdemo di depan gedung parlemen Inggris, menyatakan dukungan mereka tehadap Enoch. Dalam waktu singkat tiba-tiba saja Enoch menjadi idola baru kelas pekerja terutama di kalangan kaum mudanya, ya… Enoch adalah pahlawan bagi beberapa Skinhead saat itu dan merekalah yang mewujudkan ide-ide Enoch di jalanan. Namun saat itu mereka belumlah menjadi pendukung aktif nya Enoch, kebanyakan Skinhead saat itu tak tertarik dengan politik terorganisasi, kebanyakan bahkan belum mempunyai hak pilih, sebagian lagi lebih memilih partai buruh, partai Torries bahkan partai liberal saat pemilihan umum.
Di kucilkan dari kancah perpolitikan tidaklah membuat Enoch menyerah, dengan bermodalkan kepopuleran dirinya di kalangan sebagian besar kelas pekerja, ia mendirikan sebuah partai bernama National Front. Partai yang berlandaskan pada ideologi Ultra Nasionalisme atau Fasisme ini menjadi kendaraannya untuk menjadi oposisi pemerintahan dan mewujudkan mimpinya akan superioritas kulit putih Inggris terhadap imigran kulit berwarna. Namun secara umum tak banyak orang yang menanggapi Enoch dan NF secara serius di tahun-tahun akhir dekade 60-an, tapi pada pertengahan dekade 70-an populeritas NF mencapai puncaknya, partai ini mendapatkan 250 ribu suara dalam pemilihan lokal tahun 1977. Beberapa kalangan memprediksi bahwa NF akan menjadi kekuatan pengganti partai Liberal yang saat itu menjadi partai politik ke tiga terbesar di Inggris sesudah partai buruh dan partai konservatif. Seperti halnya partai-partai politik lainnya NF pun mengincar suara dari kaum muda, dan yang menjadi incaran mereka saat itu adalah para Skinhead. Hal tersebut karena mereka memandang Skinhead adalah kaum yang tepat untuk di jadikan pejuang-pejuang utama yang maju di garis depan memperjuangkan ide-ide politik mereka. Mereka tertarik dengan reputasi kekerasan Skinhead, di tambah latar belakang mereka sebagai kelas pekerja yang tentunya dengan mudah termakan agitasi dan propaganda NF tentang imigran kulit berwarna. Keras, militan, dan berlatar belakang kelas pekerja, ya….Skinhead adalah target yang sangat tepat untuk di jadikan sasaran perekrutan NF. Segera saja NF dengan licik merubah isu kemiskinan yang sebenarnya adalah isu klasik tentang pertentangan kelas menjadi isu kebencian rasial. Mereka melimpahkan kemiskinan yang sebenarnya terjadi sebagai akibat dari bobroknya sistem pemerintahan Margareth Tatcher kepada imigran kulit berwarna, persis seperti yang dulu di lakukuan Hitler di Jerman terhadap orang Yahudi. Keadaan pun sangat memungkinkan hal itu terjadi, era 70-an adalah era kekacauan yang merupakan akumulasi dari kesalahan yang terjadi di era-era sebelumnya, hal ini di perkuat dengan kemunculan gelombang Punk di Inggris, yang bermuara pada ketidakpuasan kaum muda terhadap keadaan saat itu. Permasalahan sosial di akhir 70-an pun lebih kompleks ketimbang di era sebelumnya, anak-anak muda saat itu frustasi dengan kenyataan hidup, mereka bingung apa yang harus di lakukan saat lulus sekolah karena lapangan pekerjaan yang semakin sempit, hal itulah yang membuat mereka manjadi lebih agresif dan merupakan sasaran empuk bagi NF. Lalu di tahun 1977 berdirilah organisasi bernama Young National Front, sebuah organisasi bawahan NF yang mengkhususkan diri untuk menampung para Skinhead yang tertarik dengan ide-ide NF. Media lagi-lagi ikut campur, mereka dengan seenaknya mengasosiasikan semua Skinhead dangan NF, tanpa menjelaskan bahwa banyak juga Skinhead yang menentang habis-habisan ide NF dan bergabung dengan Anti Nazi League, atau bahkan ada juga Skinhead yang tak mau terlibat masalah tersebut. Terlebih lagi pada kenyataaanya bukan hanya Skinhead yang menjadi simpatisan NF, Punks, Teds, Mods bahkan orang-orang biasa pun banyak yang menjadi simpatisan partai ini.
NF dan segala agitasinya semakin menggila dengan slogan-slogannya seperti ‘jika mereka berkulit hitam, kirim mereka pulang!!!’ dan menetapkan garis perjuangan baru yang lebih radikal dari sebelumnya, yaitu:
1. Negara Inggris hanyalah untuk orang Inggris, hentikan imigrasi…!!!
2. Lapangan pekerjaan di Inggris hanyalah untuk pekerja Inggris saja.
3. Hancurkan IRA (tentara rakyat Irlandia Utara yang memberontak pada kerajaan Inggris)
4. Menyerukan agar Inggris keluar dari common market (pasar bersama Inggris dan negara-negara bekas jajahannya)
5. Hentikan bantuan bagi negara-negara lain, bangun perumahan dan sarana kesehatan bagi masyarakat Inggris.
6. Hancurkan Komunisme.
Benar-benar janji dan seruan yang bermuara pada mimpi-mimpi kosong demi mencapai tujuan politik sekelompak elit di NF, mustahil hal itu terwujud jika NF berhasil menjadi partai yang bekuasa sekalipun, karena ‘pada akhirnya kelas pekerja lah yang menjadi pecundang tak peduli siapapun yang memerintah’. Semua propaganda itu di publikasikan melalui sebuah koran bernama Bulldog yang terbit setiap bulan. Dengan Enoch sebagai ketua partai, Bulldog sebagai alat propaganda, dan para Skinhead anggota YNF yang siap bertarung di jalan-jalan membela garis politik NF, partai ini menjadi ancaman baru di kancah percaturan politik Inggris. Ironisnya reputasi buruk Skinhead akan tindak kekerasan yang sejak dulu melekat justru membuat orang-orang awam berpaling dari NF, suara partai ini merosot tajam pada pemilihan umum tahun1979. Para petinggi NF sadar kalau mereka salah langkah dengan merekrut para Skinhead, Skinhead pun tiba-tiba menjadi anak tiri di partai tersebut. Ketertarikan Skinhead terhadap NF pun semakin jauh berkurang, karena terungkap bahwa banyak petinggi NF yang homosexual, (sebuah hal yang di benci Skinhead secara turun temurun karena ide kebebasan orientasi sex yang sebenarnya berasal dari ideologi para hippies, musuh budaya Skinhead). Terlebih lagi karena saat itu bermunculan organisasi yang lebih radikal daripada NF, di antaranya adalah British Movement, Anti Paki League, atau organisasi setengah militer seperti Section 88 dan National Socialist Action Party. British Movement adalah yang paling besar dari semuanya, dengan anggota mencapai 8000 orang. BM adalah organisasi pertama yang secara terbuka mengakui kalau mereka menganut Fasisme dan ideologi nasional sosialis, ini adalah organisasi yang jauh lebih radikal daripada NF karena kebanyakan anggotanya lebih tertarik untuk aksi langsung di jalanan ketimbang ikut dalam percaturan politik.
Dengan masuknya ideologi Fasisme, nasional sosialisme, dan merebaknya sentimen anti kulit berwarna membuat Skinhead semakin jauh dari akar budayanya. Fakta sejarah membuktikan politik dalam bentuk apapun tak akan pernah memberikan keuntungan pada budaya Skinhead. Apapun alasannya tidaklah masuk akal jika seorang Skinhead menganut Nazi-isme, dan menjadi seorang Rasis. Tak mungkin seorang penganut budaya yang berasal dari budaya orang kulit hitam menjadi orang yang membenci kulit hitam dan kulit berwarna lainnya. ‘Tak akan ada yang namanya Skinhead di dunia ini tanpa campur tangan orang-orang kulit hitam’. Skinhead berhutang besar pada orang-orang seperti Laurel Aitken, Desmond Dekker, Derrick Morgan dan segudang artis kulit hitam Jamaika lainnya, merekalah yang membidani dan membentuk budaya Skinhead di masa-masa awal prerkembangan budaya ini. Benar jika di katakan seseorang bebas memilih pandangan dan afiliasi politiknya, namun hal itu tidak berlaku bagi seorang Skinhead, karena ketika kau memproklamirkan bahwa kau adalah seorang Skinhead, maka di saat yang sama kau telah memproklamirkan dirimu sebagai seorang Anti-Fasis / Rasis. ‘Setuju atau tidak setuju kau tidak bisa menjadi seorang Skinhead sejati jika kau adalah seorang Fasis, Rasis ataupun seorang Nasional Sosialis, kau tidak lebih dari sekedar orang tertolol di dunia jika kau tetap merasa menjadi seorang Skinhead tapi pada saat yang sama kau adalah seorang penganut ideologi-ideologi tersebut’. Menjadi seorang Nazi bukanlah sebuah pilihan bagi seorang Skinhead, itu adalah sebuah kesalahan besar…, pengingkaran dan penghinaan berat terhadap akar budaya yang kau anut dan kau banggakan, ingat hal itu…..!!!!

SKINHEAD SEBUAH JALAN HIDUP PART IV

BAB IV

Perkembangan Budaya Selanjutnya

Terlepas dari sebuah ketetapan hati bahwa menjadi Skinhead adalah ‘kontrak seumur hidup’, namun pada kenyataannya akan tiba waktu di mana setiap Skinhead meninggalkan Jeans dan Levi’s Stapress, kemeja Ben Sherman, Bretel (suspender) dan Dr Marten Boots-nya. Itulah kenyataan hidup yang harus kau hadapi, kau tak bisa lagi bergaya seperti seorang berandalan jalanan saat umurmu mendekati 30 tahun bahkan lebih, karena kehidupanmu harus terus berlanjut ketingkatan yang lebih tinggi, bekerja, menikah dan mempunyai anak-anak yang harus kau hidupi. Apalagi jika penampilan tersebut mulai mengganggu kehidupan sosialmu, ‘terima kasih pada Media yang telah dengan suksesnya membunuh karakter budaya Skinhead’. Di awal dekade 70-an jangan harap kau dapat pekerjaan jika orang-orang tahu kalau kau adalah seorang Skinhead, kau akan segera di tolak jika datang melamar pekerjaan dengan memakai ‘seragam’ Skinhead-mu, kalaupun jika kau mendapatkan pekerjaan itu, maka mereka menyuruhmu untuk menumbuhkan rambutmu. Skinhead benar-benar sesosok mahluk yang di tolak keberadaannya saat itu, dan ‘Media adalah dalang di balik semua ini, mereka dengan sukses membentuk anggapan bahwa Skinhead tak lebih dari sekedar Gangster botak yang kejam, tak berperasaan dan tak berotak’. Seorang Skinhead tanpa alasan yang tepat bisa saja di tangkap polisi bahkan ketika dia sedang duduk-duduk di taman, sedang minum bir di pub, atau saat membeli tiket pertandingan sepak bola. Hidup benar-benar berat bagi mereka saat itu, mereka adalah kaum terbuang dari masyarakat yang munafik.
Yah…..sering kali dalam hidup ini kita harus berurusan dengan hal-hal yang kita benci, tapi kita harus melakukannya jika ingin bertahan hidup. Hal itulah yang terjadi dengan para Skinhead di awal tahun1970-an, di satu sisi mereka cinta dengan budaya yang ‘mengontrak’ mereka seumur hidup, namun di sisi lain hidup mereka pun harus terus berlanjut, mereka tak bisa selamanya hidup di bawah ketiak Ayah dan Ibunya, prioritas hidup mereka kini telah berubah. Akibat dari keadaan tersebut adalah: memasuki tahun 1970 banyak Skinhead yang menumbuhkan rambutnya menjadi sedikit lebih panjang agar tidak di kenali orang-orang awam sebagai seorang Skinhead, hooligans, bovver boys atau sebutan apapun yang berkonotasi negatif. Setelan jas yang tadinya hanya di pakai pada kesempatan tertentu kini di pakai hampir setiap hari. Pakaian menjadi sedikit lebih kalem, bahkan sepintas seperti Mods. Levi’s sta-press, kaus fred perry, kemeja ben sherman, jaket harrington, bahkan crombie kini semakin populer di pakai, di kemudian hari bahkan muncul sebuah sebutan baru yang menjadi sub-budaya Skinhead bernama Crombie boys. Sepatu loafers terkadang di pakai sebagai ganti Boots yang berkonotasi negatif (saat itu jika kau memakai boots maka kau diidentikkan dengan orang-orang yang melakukan kekerasan di teras sepakbola). Lalu muncullah sebutan baru bagi mereka, sosok Skinhead yang lebih kalem: ‘Suedehead’, sebuah nama yang mengacu pada rambut mereka yang lebih panjang dari pada Skinhead pada umumnya (tak terlalu panjang, hanya sampai bisa di sisir rapih, biasanya di sisir belah pinggir). Para Skinhead girl yang lebih di kenal sebagai Chelsea pun ikutan memanjangkan rambutnya, mereka meninggalkan potongan feather cut dan menata rambutnya menjadi lebih feminim lagi. Apakah sebuah budaya baru telah lahir…?? Tidak juga…!! Karena semenjak awal perkembangan budaya Skinhead sudah ada sekelompok Skinhead yang berpenampilan seperti Suedehead. Lagi pula ada hal yang lebih penting daripada pakaian yang dapat dengan mudah di beli, hal itu adalah pola pikir dan nilai-nilai dasar budaya Skinhead yang tak pernah di tinggalkan oleh para Suedehead ini. Tidak seperti ketika Mods berevolusi menjadi Skinhead di akhir 60-an dulu yang di sebabkan oleh masalah kelas dan ekonomi sehingga mengakibatkan perubahan pola pikir, perubahan dari Skinhead menjadi Suedehead sama sekali tak melibatkan masalah ekonomi dan kelas. Perubahan itu lebih di sebabkan oleh tekanan dari media dan masyarakat, bahkan lebih kepada masalah fesyen saja. Buktinya tingkah laku berandalan mereka tidaklah hilang sama sekali, mereka tetaplah keras, pemberani dan doyan berkelahi. Kebiasaan membawa-bawa senjata tajam ke teras sepak bola pun tetap mereka pelihara, bahkan kini mereka membawa payung yang di tajamkan ujungnya sebagai senjata (jadi bukan sebagai pelindung di kala hujan), yah….Sekali petarung jalanan, salamanya petarung jalanan, bukti bahwa hal itu adalah kontrak seumur hidup.
Memasuki tahun 1971 bahkan para Suedehead mulai memanjangkan rambutnya menjadi lebih panjang dari sebelumnya. Potongan rambut ini hampir seperti potongan rambut orang kebanyakan, biasanya pendek di bagian atas dan sedikit panjang di bagian samping dan belakangnya (mirip potongan feather cut tapi tak se-ekstrim itu). Lalu sebutan baru pun muncul bagi mereka: Smoothy, yang mengacu pada model rambut baru mereka. Pakaian yang di kenakan pun kini berubah, para Smoothy berdandan lebih kasual ketimbang Suedehead ataupun Skinhead. Mereka biasanya memakai kaus tak berkerah dan kemeja, namun ben sherman bukanlah lagi pilihan yang populer, celana bahan biasa, jumpers, dan yang paling penting tentu saja Crombie. Boots kini hampir-hampir di tinggalkan sama sekali, sebagai gantinya adalah sepatu kasual yang biasa di pakai pekerja kantoran, namun pada beberapa kesempatan Boots tetap di pakai. Para wanita Smoothy pun mempunyai sebutan tersendiri, yaitu: Sorts, Skinhead memang sebuah budaya yang lebih berorientasi laki-laki, namun dalam perkembangannya para Skinhead girl pun mengembangkan cara berpakaiannya sendiri yang cukup unik. Para Sort ini berambut lebih panjang dari pada Skinhead ataupun Suedehead girl, mereka memakai kemeja Brutus, rok pendek yang lebar di bagian bawahnya, dan sepatu Ravel (sejenis sepatu Beebop yang biasa dipakai perawat). Bagi kebanyakan orang para Smoothy berpenampilan ‘normal’ layaknya mereka, bahkan mata rantai hubungan mereka dengan budaya Skinhead hampir-hampir hilang sama sekali, hal itulah yang membuat mereka tak terlalu populer dan menghilang seiring dengan masuknya budaya Punk ke Inggris.
Para Smoothy sebenarnya mempunyai ‘saudara kembar tak identik’, yaitu para Bootboys. Bootboys termasuk budaya yang mampu bertahan dan memasuki era 70-an dengan selamat. Kekerasan di teras sepak bola mencapai level tertingginya selama musim kompetisi 1970-1971 dan terus berlanjut di musim kompetisi 1971-1972, inilah yang menandai kembalinya budaya Bootboys setelah sempat hilang di telan histeria budaya Skinhead tahun 1969 lalu. Dalam hal penampilan luar Bootboys ini memang mirip para Smoothy terutama dalam hal penampilannya yang kasual. Hal yang membedakannya dengan Smoothy adalah para Bootboys ini mewakili penampilan teras sepak bola yang keras dan gahar, sementara Smoothy penampilannya lebih ‘resmi’ dan mewakili kehidupan klub-klub malam di Inggris. Terlebih lagi Smoothy dan Suedehead adalah budaya yang lebih banyak berkembang di selatan Inggris, sedangkan Bootboys adalah budaya yang berkembang di utara Inggris di mana sepak bola lebih populer daripada musik Reggae dan Soul. Musik dan fesyen memang menjadi nomor dua dalam hidup seorang Bootboys, nomor satu tentunya adalah sepak bola dan kehidupan Gank. Kalaulah ada barang yang wajib di pakai oleh seorang Bootboy, maka sepasang Dr Marten Boot lah itu, sedangkan celana dan baju tidak menjadi masalah. Reggae dan soul tetap populer di sebagian mereka sedangkan sebagian lagi memilih mendengarkan musik apapun yang saat itu populer termasuk Glam Rock yang merupakan pengembangan dari Progresif Rock-nya para hippies. Kebanyakan Bootboys ini pada kenyataannya ‘pernah menjadi’ Skinhead, walaupun tak melewati fase perkembangan Suedehead dan Smoothy. Memasuki tahun 1972-1974 terlepas dari Boots dan kebiasaan berkelahi di teras sepak bola, budaya Bootboys ini mempunyai sedikit sekali hubungan dengan Skinhead, kelak kedua budaya ini rujuk kembali bersamaan dengan munculnya Punk generasi baru yang lebih di kenal dengan sebutan Oi! / Street Punk. Namun semua perkembangan budaya yang sudah di jelaskan di atas tadi tidaklah sama di semua kota di daratan Inggris, contohnya di beberapa tempat sudah mengalami fase Smoothy pada pertengahan 1970, sementara di tempat lainnya tak melewati fase Skinhead sampai 1975. Umumnya bahkan terjadi percampuran fesyen dari masing-masing fase, artinya Skinhead, Suedehead, Smoothy dan Bootboys bahkan Mods pada saat yang sama.
Jika ada Skinhead yang sangat terkenal populeritasnya di era 70-an (bahkan hingga hari ini), maka Joe Hawkins-lah orangnya. Joe adalah seorang Skinhead seutuhnya, ia berdandan rapih, keras, menyukai Reggae (kemudian Oi! dan Street Punk), dan gemar mematahkan tulang rusuk para Hippies dengan sepatu bootsnya. Sayangnya Joe tidaklah nyata, ia adalah tokoh khayalan dari seorang pengarang novel bernama Richard Allen. Novel berjudul Skinhead tersebut di terbitkan pada tahun 1970, dan langsung mendapatkan perhatian nasional bahkan termasuk dalam daftar 10 buku terlaris saat itu karena isinya yang eksplisit menggambarkan kehidupan Joe yang brutal dan penuh kekerasan, sebuah kenyataan yang sebenarnya di alami para Skinhead. Kesuksesan novel Skinhead ini segera di susul oleh novel-novel berikutnya di mana Joe tetap menjadi tokoh utamanya, yaitu: Suedehead, Smoothies, Bootboys, Terrace Warrior, Punk Rock, Mod Rule, Skinhead Girl, Skinhead Escape, Troubble For Skinhead, Sorts, Top Gear Skins, Skinhead Farewell, Glam, Terrace Teror, Knuckle Girls, dan Dragon Skins. Tahun 1970 terbit sebuah film berjudul Clockwork Orange yang di sutradarai oleh Stanley Kubricks. Film ini menceritakan seorang pemuda bernama Alex, seorang pemimpin gank yang terobsesi berbuat kekerasan, memukuli orang tanpa alasan yang jelas dan memperkosa bahkan membunuh. Di film itu Alex dan gank-nya berdandan ala seorang petarung jalanan: Riasan berupa bulu mata palsu di mata sebelah kanan (atau kadang-kadang memakai topeng badut) baju dan celana putih, payung yang di tajamkan ujungnya, dan di lengkapi dengan pelindung yang dipakai petinju untuk melindungi organ vitalnya, dan yang paling penting tentu saja sebuah topi Bowler.Yang membuat Alex mirip dengan Skinhead adalah sepatu Bootsnya, di tambah dengan tindakan Alex dan gank nya yang khas para Skinhead, benar-benar sebuah penampilan dan tingkah laku Horor…!!! Terlepas dari film ini sangatlah kontroversial dan dilarang peredarannya, kenyataannya Clockwork Orange menginspirasi sekelompok kecil Skinhead. Mereka mulai berdandan ala Alex dan gank nya, melakukan kekerasan ekstrim, dan sebuah sub-budaya baru dari budaya Skinhead pun lahir: Clockwork Skinhead. Film ini kelak juga menginspirasi lagu-lagu beberapa band Oi! dan street punk seperti The 4 Skins, The Violators, The Last Resorts, Angelic Upstart, Major Accident dan yang paling legendaris The Addicts.
Era ini juga adalah untuk pertama kalinya muncul ‘Band Skinhead’ bernama Slade. Masih diperdebatkan sampai saat ini apakah para anggota Slade adalah benar-benar Skinhead atau bukan, namun kenyataannya saat itu mereka berdandan layaknya seorang Skinhead. Sayangnya memasuki tahun 1971 Slade berubah menjadi band Glam rock dengan rambut gondrongnya, tapi tak dapat dipungkiri kalau band ini adalah band yang sangat berpengaruh pada Cock Sparrer, band favorit Skinhead sepanjang masa. Mereka kembali dihubungkan dengan Skinhead saat mereka main di Great British Music Festivals 1978 saat terjadi perkelahian antara Mods dan Skinhead ketika The Jam naik ke panggung dan berakhir dengan insiden penikaman seorang Mods oleh seorang Skinhead. Memasuki pertengahan tahun 1975, Skinhead benar-benar hampir hilang dari daratan Inggris, seiring dengan menjauhnya Reggae dan Soul dari kehidupan anak-anak kelas pekerja Inggris. Kini tinggallah para Bootboys yang mengadopsi musik para Hippies seperti Glam rock ala Slade dan Mott The Hoople sebagai budayanya. Pada tahun yang sama Judge Dread merilis lagu Bring Back The Skins dalam albumnya yang paling legendaris Last of The Skinhead. Lirik di lagu itu yang seakan bernostalgia pada masa-masa keemasan Skinhead di tahun 1969 dulu itu tak lama lagi akan menjadi kenyataan. Anak-anak kelas pekerja yang keras dan menguasai jalan-jalan di se-antero Inggris kembali lagi, kali ini dengan penampilan baru, namun tetap dengan semangat yang sama, semangat Jalanan. Ya…Skinhead kembali lagi, kali ini dengan sebuah pergerakan musik baru bernama Street Punk…

SKINHEAD SEBUAH JALAN HIDUP PART III


BAB III:
Lahirnya Budaya Skinhead

Pada dasarnya Skinhead adalah gelombang baru dari budaya Mods yang sudah berkembang beberapa tahun sebelumnya. Pada awalnya mereka di sebut sebagai Hard Mods, sebuah sebutan yang mengacu pada dandanan, tingkah laku dan pola pikir mereka yang lebih keras dari pada Tradisional Mods. Para Skinhead ini lebih terkesan berandalan dari para pendahulunya, mereka lebih sering melakukan kekerasan, sebuah prilaku alami dari anak-anak kelas pekerja yang tak puas dengan kenyataan hidupnya. Satu hal yang perlu di ingat di sini bahwa sebenarnya kemunculan para Skinhead ini adalah sebuah penolakan terhadap cara berpikir Mods yang saat itu mulai kehilangan esensinya (Sebagian besar para Mods saat itu menjadi Hippies). Mereka adalah orang-orang yang menolak cara berpakaian Tradisional Mods yang saat itu sangatlah mahal dan tidak bisa di beli oleh anak-anak kelas pekerja seperti mereka.
Namun layaknya Mods, Skinhead pun sangat menghormati cara berpakaian yang necis dan rapih. Bedanya dengan Mods ide dasar dari fesyen Skinhead adalah bagaimana caranya agar terlihat rapih, necis, elegan, namun pada saat yang sama juga terlihat keras, gahar, dan berandalan. Hasilnya adalah sebuah dandanan yang benar-benar berbeda dengan para Mods, setelan jas mahal di tinggalkan, sebagai gantinya mereka memilih kaus kerah Fred Perry, kemeja Ben Sherman, Levi’s Staprest ataupun Levi’s Jeans 501, sebagai pelengkap adalah bretel untuk menahan celana agar tetap berada di atas pinggul, lalu jaket Harrington, jaket jeans atau Crombie (sejenis jas panjang). Sepatu dansa di gantikan dengan Industrial Boots, sebelum akhirnya Boots bermerk Dr Martens keluar di pasaran, dan menjadi pilihan yang lebih populer. Potongan rambut pun semakin hari di cukur semakin pendek, dalam beberapa kasus bahkan hampir botak sehingga orang-orang bisa melihat kulit kepala mereka di sela-sela rambut mereka yang sangat pendek, dari sinilah muncul sebutan ‘Skinhead’. Begitu pula dengan para wanitanya, potongan rambut merekapun sangatlah pendek, sebutan bagi potongan rambut seperti ini adalah Feather cut (sangat pendek pada bagian atasnya namun di biarkan tetap panjang pada bagian samping dan biasanya berponi pada bagian depannnya). Sebagai kendaraan Scooter tetaplah populer layaknya di kalangan Tradisional Mods, namun kini hal itu bukanlah lagi sebuah keharusan, bagi Skinhead scooter hanyalah sebagai kendaraan untuk bepergian bukan sebuah benda untuk di pamerkan pada teman-teman mereka, seperti di kalangan Mods, (jadi, punya bagus, tidak punya ya tidak apa-apa). Pakaian-pakaian itu menjadi pilihan mereka karena semua barang tersebut harganya murah dan terjangkau oleh kantong anak-anak kelas pekerja saat itu. Hal lain yang menjadi alasan pemilihan pakaian tersebut adalah karena semua pakaian itu lebih cocok sebagai “seragam dinas perkelahian di jalanan” ketimbang setelan jas ala Tradisional Mods, walaupun sepatu dansa dan setelan jas tetap di pakai dalam beberapa kesempatan. Layaknya Rude boy di Jamaika, kekerasan pun adalah hal yang sangat identik dengan budaya Skinhead. Perkelahian jugalah yang menjadi alasan kenapa Boots menjadi pilihan, terutama yang di lapisi baja pada ujungnya (Steel Toe), sehingga bisa di jadikan senjata untuk mencederai lawan. Begitu jugalah alasan kenapa potongan rambut “hampir botak” menjadi pilihan mereka, yaitu agar rambut itu tak bisa di jambak saat bekelahi dengan musuh, dan di era itu biasanya para laki-laki memelihara cambang, itu jugalah yang di lakukan para Skinhead ini. Perkelahian inilah yang membuat reputasi mereka buruk di kalangan masyarakat umum, Skinhead adalah berandalan jalanan yang di tolak keberadaannya oleh masyarakat.
Pada akhir tahun 1968 jumlah para Hard Mods semakin banyak, seiring semakin banyaknya anak-anak muda kelas pekerja yang menolak pola pikir Mods tradisional. Gank-gank Hard Mods pun bermunculan di kota-kota seperti London, Birmingham, Liverpool, New Castle dan Glasgow ( Gang nya yang bernama Glasgow Spy Kids sangat terkenal hingga hari ini akan reputasi kekerasannya ). Pada awalnya sebutan bagi mereka berbeda-beda di setiap kota, yang paling umum adalah Clean Heads, Shave Heads, Spy kids dan Peanuts (mengacu pada bunyi scooter yang di kendarai mereka). Di tahun 1969 penolakan terhadap budaya Mods kelas menengah yang saat itu sudah tercemar pola pikir generasi bungapun semakin menjadi-jadi, pemisahan antara tradisional Mods yang telah berevolusi jadi Hippies dan Hard Mods / Skinhead pun tak terhindarkan lagi. Para Hippies yang rata-rata kelas menengah inilah yang menjadi musuh utama para Skinhead. Perkelahian yang berujung pada kekerasan ini terjadi di setiap kesempatan mereka bertemu, namun yang paling besar terjadi di Bank Holiday tahun 1968 dan 1969, di sinilah Skinhead menjadi perhatian media untuk pertama kalinya.
Satu hal lagi yang membentuk budaya Skinhead adalah kerusuhan yang terjadi di teras sepak bola. Inggris memang adalah sebuah negara dengan budaya sepak bola yang kuat mengakar. Semenjak kemenangan Inggris di Piala Dunia tahun 1966 sepak bola menjadi semakin menarik perhatian anak-anak muda Inggris saat itu. Tradisi menonton sepak bola di akhir pekan bersama para Ayah sedikit demi sedikit mulai menghilang, seiring dengan pekerjaan paruh waktu yang banyak di lakukan anak-anak kelas pekerja saat itu yang membuat mereka mempunyai uang sendiri untuk membeli tiket masuk ke petandingan sepak bola. Kekerasan dan Hooliganisme memang sudah membudaya di dunia persepak bolaan Inggris selama berabad-abad sebelumnya, namun memasuki era 60-an hal itu semakin terorganisasi. Para hooligans ini kebanyakan adalah para Hard Mods yang tampil gahar dengan jeans dan sepatu boots seperti yang di paparkan di atas. Hooliganisme terorganisasi atau lebih di kenal dengan sebutan ‘Firm/Mobs’ ini semakin mewabah di musim kompetisi 1968 – 1969. Saat itu hampir semua tim wilayah selatan dan utara Inggris mempunyai gank hooligan yang semua anggotanya adalah Skinhead. Mereka biasanya membuat kerusuhan tak hanya di luar lapangan, tapi juga di dalam lapangan, berkelahi dengan suporter lawan dan tentunya dengan polisi. Dalam waktu singkat media seperti The Sunday Mirror, Suns dan The Football mail mengasosiasikan Skinhead dengan kerusuhan tersebut. Pada awalnya berita tersebut biasa-biasa saja namun lama kelamaan pemberitaan itu semakin berlebihan dan berat sebelah, menempatkan Skinhead sebagai terdakwa tunggal bahkan jika kerusuhan tersebut bukan terjadi karena ulah mereka. Perkelahian dan kerusuhan terjadi hampir di tiap pertandingan, terutama di wilayah utara di mana sepak bola dan budaya Gank suporternya lebih populer ketimbang berdansa di club malam seperti di selatan Inggris. Perkelahian yang semakin sering terjadi membuat para Skinhead merasa perlu untuk mempersenjatai diri. Boots kini di rasa tak lagi cukup, kini mereka mempersenjatai diri dengan pisau belati atau pisau lipat yang biasa di gunakan untuk mencukur rambut (Razor). Senjata tersebut bahkan kemudian di gunakan dalam perkelahian melawan Hippes, Rockers, Greaser, dan Hell Angels. Skinhead kini semakin identik dengan kenakalan remaja bahkan kekerasan dan kejahatan serius, hal itu membuat mereka di waspadai keberedaanya oleh masyarakat terutama polisi. Berkelahi di jalanan, membuat rusuh di teras sepak bola, memukuli Hippies, (bahkan) Mods di Bank Holiday, ya… budaya baru ini benar-benar identik dengan kekerasan. Tapi ada saat di mana mereka meninggalkan Ya…..!!! Hal berikutnya yang membentuk budaya Skinhead yang berasal dari budaya Mods dan akan di pegang teguh oleh para Skinhead sampai kapanpun adalah kecintaan mereka kepada musik kulit hitam sperti RnB, Soul (keluaran Tamla, Stax dan Motown ) dan musik Ska / Reggae asal Jamaika. Yang membedakan Skinhead dengan Mods dalam hal musik yang di dengarkan adalah: Mods memang sangat menyukai Soul dan Ska (mereka menyebutnya Bluebeat, nama label yang merilis Prince Buster di Inggris ), namun hasrat utama mereka adalah lagu-lagu dari The Who dan The Small Faces, sedangkan Skinhead lebih suka mendengarkan musik Jamaika yang saat itu telah berevolusi menjadi Reggae, ya….Skinhead sangat identik dengan musik Reggae. Kenapa para Skinhead mengadopsi Reggae sebagai musiknya telah banyak di perdebatkan saat ini. Teori pertama adalah hal itu di sebabkan oleh para Skinhead ini tinggal bertetangga dengan para imigran Jamaika sehingga ada interaksi budaya di antara mereka, salah satunya adalah musik Reggae. Hal tersebut menyebabkan para Skinhead ini terpengaruh oleh budaya dan penampilan Rudeboy di Jamaika, termasuk celana yang di perpendek atau di gulung di atas mata kaki untuk memperlihatkan Boots 8 atau 10 lubang yang saat itu populer di kalangan para Skinhead. ‘Baik Mods dan kemudian Skinhead sangat mencintai dan terinspirasi oleh budaya Rude boy Jamaika, dan menggabungkannya dengan budaya kelas pekerja Inggris untuk membentuk sebuah budaya baru yaitu budaya Skinhead’. Teori kedua adalah hal ini di sebabkan oleh warisan dari budaya Mods dan terlebih lagi karena kepopuleran Ska yang semakin meningkat semenjak lagu My Boy Lollypop (Millie Small) bertengger di posisi nomor 1 di tangga lagu nasional Inggris pada tahun 1964. Teori ke tiga adalah hal ini di sebabkan oleh harga piringan hitam Reggae yang saat itu murah, sehingga mudah bagi para Skinhead untuk mendapatkannya. Namun teori yang paling banyak di setujui adalah: pengadopsian Reggae sebagai musik Skinhead saat itu di sebabkan oleh penolakan mereka terhadap musik Progresif Rock ala band-band Woodstock seperti The Cream dan Jimmy Hendrix yang di sukai oleh para Hippies, ya…. Skinhead adalah sebuah budaya penolakan terhadap budaya Hippies yang cenderung kelas menengah. Namun apapun alasannya, pada saat The Pioneers merilis Longshot Kick The Bucket dan mencapai sukses di bulan oktober 1969, lalu di susul dengan lagu Desmond Dekker yang bejudul Israelites yang meraih posisi pucak pada akhir tahun 1969, Skinhead dan Reggae pun menjadi semakin identik, dan munculah sebutan baru bagi genre musik ini: ‘Skinhead Reggae’. Namun hal utama yang membuat Skinhead tertarik pada Reggae tentulah iramanya yang riang dan mengajak tubuh secara alami untuk berdansa. Kenyataanya lirik lagu tidaklah penting karena sedikit sekali Skinhead saat itu yang mengerti bahasa ‘slang’ Jamaika yang di gunakan dalam lagu-lagu Reggae. Buktinya adalah: Israelites-nya Desmond Dekker boleh saja laku sebanyak 8 juta copy di seluruh dunia saat itu, tapi coba tanya apa isi dari liriknya pada 10 orang Skinhead maka kau akan mendapatkan 10 jawaban berbeda pula. ‘Dan itulah hal-hal yang membentuk Budaya ini, dari Gang Hard Mods di jalanan dengan scooternya, Bootboys / Hooligans di teras sepak bola, dan Rude boy di lantai dansa datanglah anak-anak kelas pekerja bernama Skinhead….’
Musik Ska Jamaika memang sudah masuk ke Inggris semenjak awal dekade 60-an dan sempat populer di pertengahan dekade tersebut. Itu semua berkat kepiawaian para promotor musik yang memboyong artis-artis Jamaika ke Inggris seperti Christ Blackwell pemilik Island Records. Namun hal yang terjadi pada Ska tersebut berbeda dengan hal yang terjadi pada Reggae. Walaupun secara teori Reggae adalah ‘bentuk baru’ dari Ska, hal tersebut tidaklah membuat Reggae langsung populer di Inggris. Pada awal masuknya Reggae ke daratan Inggris di tahun 1968, stasiun-stasiun radio dan media musik hampir tak memberikan dukungan pada Reggae. Kenyataanya bahkan mereka mengkritisi Reggae sebagai musik yang masih mentah (Reggae kadang-kadang hanya menggunakan 2 kunci gitar dan berdurasi 2 atau 3 menit, benar-benar kontras dengan Progresif Rock yang rumit dan berdurasi 6 sampai 8 menit), lebih dari itu mereka menyebutnya sebagai musik ‘yobbo (kasar dan Bodoh)’. Asosiasi Reggae dengan Skinhead pun membuat musik ini di jauhi pasar mainstream. Akibatnya jika tak ada publikasi dan pemberitaan di media tentu saja tak akan bisa masuk tangga lagu dan sedikit sekali toko yang mau menjual piringan hitam artis-artis Reggae seperti Bob Andy, Desmond Dekker dan Toots and The Maytals. Saat itu Reggae hanya di putar di pub-pub dan club-club malam seperti Ram Jam club, Golden star club, The Ska Bar, dll, yang sebagian besar pengunjungnya adalah para Skinhead, yang segera mengadopsi musik ini sebagai bagian terpenting dari budaya baru mereka. Namun seiring semakin membesar dan mewabahnya budaya Skinhead di Inggris, maka Reggae pun semakin populer, hal inilah yang mengantarkan lagu-lagu Reggae ke puncak tangga lagu nasional, lalu tiba-tiba saja Reggae menjadi kesukaan semua orang, bukan hanya Skinhead saja.
Perusahaan rekaman paling terkemuka yang memproduksi dan menyalurkan rekaman piringan hitam Reggae saat itu adalah Trojan Recods. Perusahaan ini di dirikan oleh Island Records dan Beat and Commercial Company (B & C) di tahun 1968. Tapi kemudian Christ Blackwell si pemilik Island records menarik diri dari kepemilikan saham Trojan records, menyerahkan seluruh perusahaan itu pada Lee Goptal pemilik B & C company yang tadinya adalah seorang akuntan. Saingan utama dari Trojan records adalah Pama records dan label-label yang di subsidinya yang merupakan milik dari Harry Palmer dan dua orang saudaranya. Masing-masing label tersebut mepunyai artis-artisnya sendiri-sendiri yang populer di kalangan Skinhead saat itu. Di pihak Trojan ada artis-artis seperti: Desmond Dekker, Judge Dread, Toots and The Maytals, Harry J allstars, The Pioneers, The Maytones, Joe white, Clancy Ecccles, Symarips dan banyak lagi, sedangkan di pihak Pama ada: Laurel Aitken, Derrick Morgan, Pat kelly, The Marvels, Alton Ellis, The Upsetter dan banyak lagi. Persaingan antara kedua label ini di manfaatkan oleh produser-produser Jamaika yang tidak jujur untuk menghasilkan uang lebih banyak, tak jarang mereka teken kontrak dengan kedua label tersebut tanpa sepengetahuan salah satu dari mereka. Namun persaingan ini di menangkan oleh Trojan, dengan lebih dari 40 buah label yang di subsidinya, label itu menguasai 80 % pasar musik Reggae saat itu. Pada akhir tahun 1969 Trojan merilis sebuah hits Reggae yang kelak menjadi sangat legendaris dalam budaya Skinhead, yaitu Skinhead Moonstomp oleh Symarips (alias The Pyramids). Skinhead Moonstomp ini kemudian bahkan menjadi semacam standar bagi lagu-lagu Skinhead Reggae, padahal irama-nya adalah jiplakan dari Moonhop-nya Derrick Morgan yang di rilis oleh Pama. Terlepas dari hal tersebut Skinhead Moonstomp adalah lagu Reggae pertama yang membahas Skinhead dalam liriknya, hal itu membuat Skinhead kini seakan punya corong publikasi tersendiri, terlebih lagi hal itu membuat semakin kuatnya hubungan emosional antara artis-artis Reggae Jamaika dengan para Skinhead, anak kelas pekerja Inggris yang menjadi fans utamanya. Skinhead Moonstomp kemudian di susul oleh lagu-lagu lain yang menjadikan Skinhead sebagai objek bahasan dalam lirik, diantaranya adalah Skinhead girl, Skinhead Jamboree ( The Symarips ), Skinhead shuffle ( The Mohawk ), Skinhead Train ( Laurel Aitken ), Skinheads don’t fear dan Skinhead Moondust ( The Hot Rod All stars ), Skinhead Revolt ( Joe The Boss ), Skinhead a message to you ( Desmond Riley ), Skinhead a Bash them ( Claudette and The Corporation ), dan masih banyak lagi. Populernya Skinhead Reggae di Inggris saat itu bahkan kemudian membuat Ska dan rocksteady kembali populer di lantai-lantai dansa klub-klub malam. Musik favorit lainnya di kalangan Skinhead saat itu adalah musik Soul Amerika yang lebih di kenal dengan istilah ‘Northern Soul’ yang di rilis di bawah label Tamla Motown, Stax dan Atlantic Records. Artis-artis-nya di antara lain adalah Martha Reeves and The Vandelas, Smokey Robinson, Aretha Franklin, The Miracles, The Supremes, Ray Charles, dll, yang sudah ngetop semenjak awal dekade 60-an. Tidak seperti Reggae, Soul mendapatkan dukungan publikasi penuh dari media, sehingga lebih populer di kalangan umum, namun Reggae tetaplah musik nomor satu bagi para Skinhead. Bahkan di awal tahun 1970 di adakan Carribean Music Festivals yang di hadiri 9000 penonton, di susul dengan The UK Reggae Tour yang menampilkan The Upsetter, The Pioneers, Jimmy Cliff, Harry J Allstars, Desmond Dekker, Max Romeo, dll, yang berkeliling Inggris selama 4 minggu. Klub-klub kenamaan di London pun secara reguler menampilkan artis-artis Jamaika. Reggae benar-benar populer saat itu, dan fans fanatiknya adalah Skinhead, bahkan tak sedikit dari mereka yang menjadi kolektor serius musik Jamaika. Beberapa di antara mereka bahkan menjadi DJ Reggae dan memulai bisnis sound systemnya sendiri. Bahkan ada semacam peraturan tak tertulis saat itu, yaitu semakin banyak koleksi yang di miliki seorang Skinhead maka ia akan semakin di hormati, tak heran Skinhead saat itu menghabiskan sebagian besar uangnya untuk membeli piringan hitam Reggae.
Memasuki era 70-an budaya Skinhead menjadi semakin besar dan semakin jauh meninggalkan ‘bapaknya’ para Mods. Budaya ini semakin identik dengan kekerasan, seiring dengan pemberitaan di media massa yang semakin hari semakin memojokkan mereka. Saat itu semakin banyak anak-anak muda yang bergabung dengan budaya ini, sayangnya mereka terpengaruh dengan reputasi Skinhead yang di bentuk oleh media, sehingga mereka kira Skinhead hanyalah tentang kekerasan, rusuh di stadion sepak bola dan memukuli siapapun yang tidak mereka sukai. Kelak reputasi kekerasan ini semakin di perparah dengan turut campurnya kekuatan politik sayap kanan yang menyusupi budaya Skinhead. Semenjak tahun 1971 musik Reggae di Jamaika sendiri berubah seiring dengan merebaknya paham Rastafarian (sebuah paham yang mengajarkan bahwa Ras kulit hitam di luar Afrika harus kembali ke Afrika, Tanah yang di janjikan bagi mereka) di negeri itu. Reggae tiba-tiba adalah tentang Zion, Jah, Babylon, dan semua hal berbau afrika, tak ada lagi lagu-lagu tentang para Skinhead di daratan Inggris, hal ini tentu saja seakan memutus hubungan emosional antara Jamaika dan budaya Skinhead. Musik soul sendiri kini telah berevolusi sedemikian rupa menjadi musik Disko, membuat Skinhead semakin kehilangan Jati dirinya. Kini hanya tinggal kekerasan sajalah yang menjadi identitas budaya ini, tiba-tiba saja kau adalah orang yang bersalah di mata masyarakat jika kau adalah seorang Skinhead. Hal ini membuat para Skinhead yang lebih tua dan merupakan pelopor budaya ini semakin muak dengan keadaan saat itu. Semakin kau tua maka kau semakin dewasa dan tak mau lagi melakukan hal-hal bodoh seperti berkelahi di jalanan tanpa tujuan yang jelas. Memasuki tahun 1972 budaya Skinhead semakin kehilangan arahnya, tapi budaya ini tidaklah musnah atau hilang begitu saja layaknya sebuah trend, kenyataanya budaya Skinhead terus berkembang seiring lahirnya generasi baru budaya ini…..cerita ini pun berlanjut dengan para tokoh yang merupakan ‘anak-anak’ dari budaya Skinhead yang bernama: Suedehead, Smoothies, Bootboys, dan Clockwork Skinhead………

SKINHEAD SEBUAH JALAN HIDUP PART II


BAB II: Mods Inggris, Cikal Bakal Budaya Skinhead

Anak-anak muda yang menamakan diri mereka Mods muncul di Inggris untuk pertama kalinya di akhir tahun 50-an. Nama budaya mereka yang merupakan singkatan dari “modernisme” di ambil dari penolakan mereka atas Tradisional Jazz yang melanda Inggris beberapa saat sebelum era The Beatles. Mods pada awalnya adalah fans berat musik Modern Jazz seperti Dave Bruebeck, hal itu tidaklah berlangsung lama sampai akhirnya mereka jatuh cinta pada Black music dari Amerika seperti Northern Soul, RnB, dan tentunya musik Ska Jamaika. Budaya ini juga di kenal sebagai pihak yg membidani lahirnya “Garage band” yang paling berpengaruh di abad 20, yaitu The Who dan The Small Faces. Seperti halnya budaya anak muda lainnya Mods pun mempunyai cara berpakaian tersendiri, malahan hal itu adalah hal yang terpenting bagi mereka. Layaknya para Rude boy di Jamaika, para Mods ini berpakaian sangat rapih dan necis, setelan jas buatan Italia, sepasang sepatu brogues, parka (semacam mantel untuk berkendaraan) dan yang terpenting dari semuanya, Scooter (biasanya bermerek Lambretta). Mereka biasanya nongkrong di kafe-kafe atau coffee shop seputaran London, tentunya sambil mendengarkan Soul, RnB, dan Ska. Satu hal yang paling penting di ingat di sini bahwa Mods sangat-sangat mengejar Fesyen terutama merek-merek tertentu seperti kemeja Jaytex, hal itu karena ide dasar dari Mods adalah bagaimana caranya untuk terlihat lebih cool dan bergaya ketimbang orang-orang normal, bergaya seperti seorang pekerja mapan walaupun kenyataanya mereka masih sekolah. Pada awalnya anak-anak muda yang mengadopsi Mods sebagai identitas diri sangatlah sedikit, tapi memasuki tahun 1962 budaya ini semakin banyak pengikutnya, walaupun belum sampai pada taraf trend atau mewabah. Tapi di balik penampilan mereka yang cenderung terlihat seperti kelas menengah, sebenarnya Mods adalah murni budaya kelas pekerja. Hal yang membuat para Mods berpenampilan seperti itu adalah karena budaya mereka sebenarnya merupakan sebuah kontra budaya terhadap Teddy Boys/ greasers/rockers yang muncul beberapa dekade sebelumnya. Semua hal dari pakaian, musik yang di dengarkan, kendaraan sampai cara berpikir Mods adalah kebalikan 180 derajat dari para rockers. Mods tampak necis dgn setelan jas buatan italianya, sedangkan Rockers tampil gahar dgn celana kulit dan jaket kulitnya, Mods mendengarkan Soul, RnB dan Ska, sedangkan Rockers mendengarkan Rock N’ Roll, Mods berkeliaran di jalan-jalan dgn scooter Lambrettanya, sedangkan Rockers dgn motor Harley Davidsonnya, dan masih segudang hal bertentangan lainnya. Pertentangan ini membuat mereka membenci satu sama lain, tak jarang hal itu mengakibatkan perkelahian di antara mereka, yang paling legendaris adalah perkelahian di Bank Holiday (semacam liburan musim panas) di tepi pantai Brighton tahun 1964. Hal itulah yang membentuk opini publik yang buruk terhadap mereka, layaknya Rude boy di Jamaika, Mods di anggap sebagai berandalan, kaum yang di tolak keberadaanya oleh masyarakat. Semenjak paska PD II telah terjadi imigrasi penduduk Jamaika ke Inggris, hal ini terjadi gelombang demi gelombang dan mencapai puncaknya antara tahun 1964 – 1966. Para imigran kulit hitam ini tinggal di daerah-daerah tempat kelas pekerja Inggris tinggal, di sinilah terjadi interaksi budaya antara Mods dan anak2 muda imigran Jamaika. Fenomena Rude Boy yang terjadi di Jamaika ternyata dgn cepat menyebar di antara anak-anak muda imigran Jamaika kelahiran Inggris, di tambah datangnya beberapa orang Rude boy “asli” kingston di lingkungan mereka. Dengan cepat mereka mengadopsi cara berpakaian Rude boy di Kingston dan mendengarkan musik yang saat itu sedang hits di Jamaika seperti Prince Buster dan Alton Ellis. Gaya Rude boy ini segera saja mewabah pula di kalangan Mods, ketertarikan mereka terhadap musik Jamaika yang sudah ada semenjak awal perkembangan budaya ini pun menjadi semakin besar, bahkan Pork Pie Hat ala Prince Buster pun menjadi asesoris wajib. Ska tiba-tiba saja menjadi musik utama para Mods, kepopuleran Prince Buster di kalangan Mods tiba-tiba saja mengalahkan artis-artis motown seperti Martha Reeves and The Vandelas ataupun Marvin Gaye. Dan yang terpenting kini mereka punya sekutu baru dalam melawan Rockers, para anak muda imigran kulit hitam asal Jamaika, ya…. Para “UK based Rude boy”. Di tahun 1967 budaya Mods semakin mewabah di Inggris, sampai-sampai lagu Prince Buster berjudul “Al Capone” mencapai nomor 18 di tangga lagu nasional Inggris, padahal hanya para Mods lah yang mendengarkannya. Mewabahnya Mods membuat budaya ini mulai kehilangan esensi dan pemikiran dasarnya. Mods yang pada awalnya adalah murni budaya kelas pekerja kini mulai tercemar dgn masuknya anak-anak kelas menengah bahkan kelas atas yang sebenarnya hanya tertarik dgn fesyen Mods tanpa tahu dasar pemikiran budaya ini. Tiba-tiba saja Mods hanyalah tentang pakaian bagus dan mahal, bahkan seorang Mods yang tidak berpakaian seperti itu pasti akan di tertawakan dan tak akan di terima oleh Mods lainnya. Hal ini tentu saja tak masalah bagi mereka anak-anak kelas menengah yang orang tuanya kaya raya, tapi masalah besar bagi anak-anak kelas pekerja, bayangkan….. uang saku mereka hanyalah 10 pound perminggu, sedangkan harga pakaian yang “ di anggap” sebagai pakaian Mods yang benar saat itu adalah 15 pound….!!! Pada akhirnya apapun di dunia ini adalah tentang kelas, hal itu pulalah yang terjadi pada Mods. Pembagianpun segera terjadi, Mods kelas menengah di satu sisi, dan Mods kelas pekerja di sisi lainnya. Para Mods kelas pekerja ini menolak cara berpakaian mewah ala para Mods kelas menengah, terlebih lagi di antara anak-anak kelas menengah itu mulai berjangkit pola pikir “generasi Bunga / hippies”. Mods kelas pekerja ini tiba-tiba saja menjadi kontra budaya terhadap “Mods kelas menengah. Cara berpakaian mereka berubah menjadi lebih “Hard”. Setelan jas buatan Italia di gantikan dgn kemeja Ben Sherman, jaket Denim dan celana jeans Levi’s 501, dan yang cukup ekstrim : rambut klimis mereka di cukur semakin pendek (hampir botak) dan sepatu kulit yang mewah dan mengkilat di gantikan dengan Boots yang biasa di pakai pekerja industri logam atau pekerja tambang. Cara berpikir dan tingkah laku mereka pun semakin jauh berbeda dgn “Mods tradisional”, anak-anak kelas pekerja ini lebih agresif, lebih suka melakukan kekerasan dan lebih provokatif terhadap musuhnya para Rockers, karenanya mereka mendapatkan julukan baru : Hard Mods. Pada akhir tahun 1968 para Mods Tradisional yang kebanyakan adalah anak kelas menengah masuk ke kuliah-kuliah seni, sebuah hal yang mustahil di dapat para Hard Mods. Hari-hari di kampus kuliah seni inilah yang membuat para Tradisional Mods ini akrab dgn Pop Art, musik Rock Kontemporer ala The Cream, dan yang paling esensial Pola Pikir Hippie yang semakin melekat di otak mereka dari hari ke hari, ya…. Mods kelas menengah berevolusi menjadi Hippies, dan menyerahkan jalan2 kosong di se-antero Inggris kepada sekelompok anak muda tangguh yang kelak di namakan Skinhead.

SKINHEAD SEBUAH JALAN HIDUP PART I


BAB 1: Rude Boy Jamaika, Akar Budaya Skinhead

Sejarah dan akar budaya Skinhead sebenarnya di rintis jauh di luar Inggris, tepatnya di Jamaika, sebuah negara pulau di laut Karibia. Satu hal yg sangat penting dan perlu diketahui bahwa perkembangan budaya Skinhead tidak bisa dipisahkan dari perkembangan musik ska, dan budaya orang-orang kulit hitam di Jamaika pada umumnya. Saat itu tgl 5 agustus 1962, saat Inggris memberi kemerdekaan pada Jamaika setelah selama 300 tahun di jajah oleh negara Ratu Elizabeth 2 itu. Berbarengan dengan perayaan kemerdekaan Jamaika itu muncul sebuah jenis musik baru yg disebut Ska. Ska sendiri sebenarnya sudah dirintis perkembangannya semenjak di era 50-an dulu, karena itu ada baiknya kita flash back ke era itu. Tahun 50-an adalah masa di mulainya era musik modern Jamaika, era itu di mulai dengan sebuah budaya yang sangat unik dan hanya ada di Jamaika sampai saat ini, yaitu era Sound System. Di namakan era sound system karena satu-satu nya jalan bagi kalangan kelas bawah yang merupakan mayoritas di sana untuk mendengarkan musik saat itu adalah melalui sound system. Caranya adalah dengan memutar piringan hitam musik Jazz, Motown Soul dan RnB Amerika di seperangkat alat pemutar piringan hitam dan untuk pengeras suaranya dipakai seperangkat pengeras suara / sound system. Biasanya hal itu di lakukan di pesta-pesta yang di gelar di jalanan, jadi benar-benar musik jalanan untuk kaum bawah yang haus hiburan tapi tidak bisa datang ke klub-klub malam yang mahal dan mewah atau pergi liburan ke tempat-tempat wisata seperti Miami, pokoknya benar-benar lower class entertainment. Tetapi bukan berarti permintaan akan LIVE musik tidak ada. Pada mulanya para musisi Jamaika hanya memainkan lagu-lagu Jazz dan RnB seperti Fat Domino, Louis Jordan dan Ray Charles, sampai akhirya mereka merasa perlu untuk membuat lagu sendiri dengan cara meniru gaya bermusik artis RnB di Amerika, terutama gaya bermusik Boogie Rock ala New Orleans. Namun Pada kenyataannya para musisi seperti Laurel Aitken dan Skatalites gagal meniru gaya yang seperti itu, yang terjadi adalah mereka malah menciptakan gaya musik baru yg merupakan penggabungan dari musik Jazz dan RnB Amerika dengan musik traditional Jamaika yaitu Calypso dan Mento, dan hasilnya adalah sebuah formulasi musik yg di kenal sebagai ska. Era ska berlangsung dari tahun 1962 sampai tahun 1966 saat ska berubah tempo-nya menjadi sedikit lebih lambat dan nge-Soul, tempo dan gaya ini di sebut Rocksteady, nah…. Rocksteady inilah yg kemudian berevolusi lagi menjadi musik yg saat ini di kenal dunia sebagai Reggae. Satu hal yg sangat penting dari era ska di Jamaika yg erat hubunganya dgn sejarah budaya Skinhead adalah kemunculan para Rude boy. Para Rudeboy ini adalah anak-anak muda yg terpikat dgn segala janji-janji muluk tentang kemakmuran setelah kemerdekaan Jamaika. Mereka berurbanisasi secara besar-besaran dari kota-kota seperti Negril dan Port Royal ke Kingston town, ibu kota Jamaika dgn harapan bisa mendapatkan penghidupan yang lebih layak. Namun akibat dari skill dan pendidikan mereka yg rendah serta langkanya lapangan pekerjaan di Kingston membuat mereka menjadi pengangguran dan akhirnya terpaksa bertahan hidup dgn menjadi preman jalanan, sebagian besar bahkan terlibat dalam kejahatan terorganisasi. Mereka terpaksa tinggal di daerah-daerah kumuh seperti Orange Street dan Trench Town yang sarat dgn permasalahan sosial seperti perdagangan ganja dan perkelahian antar gank. Kehidupan keras inilah yg membuat mereka menjadi kasar dan tangguh (rough & tough), serta terbiasa dgn kekerasan dan kejahatan, dari sinilah muncul istilah “Rude boy” yg kira-kira artinya adalah “Preman Jalanan”. Rude boy itu tangguh seperti seekor singa dan kuat seperti baja, begitulah katanya Derrick Morgan dalam lagu Rougher than Rough….., mereka berkeliaran di jalan-jalan kota Kingston dengan pistol ataupun belati di balik setelan jasnya. Pandangan akan preman jalanan dan penjahat inilah yang menjadikan mereka sebagai kaum yg di tolak keberadaannya oleh masyarakat. Rude boy inilah para fans musik ska saat itu, hal ini mungkin di karenakan ska yg musisinya berasal dari ghetto (daerah kumuh) sama seperti mereka, sehingga ska identik dgn pemberontakan dan di beri label musik kelas bawah. Hal lain yang sangat menonjol dari para Rude boy ini adalah gaya mereka yg cool, cara berpakaian mereka yg necis, rapih dan elegan. Setiap uang yang mereka hasilkan pastilah di habiskan untuk membeli setelan jas, sepasang sepatu kulit warna hitam yang di semir mengkilat, topi pork pie dan kaca mata hitam, benar-benar sebuah anti tesis terhadap latar belakang mereka yang berasal dari kelas bawah yang miskin. Tahun 1966 berbarengan dgn berubahnya ska menjadi rocksteady dan keadaan ekonomi Jamaika yang semakin terpuruk, kekerasan dan kejahatan yg di lakukan para Rude boy semakin menjadi-jadi, hal ini semakin di perparah dgn adanya campur tangan dari para politisi yg memakai mereka sebagai body guard untuk menjalankan kepentingan politiknya. Akibatnya pertarungan antar gank Rude boy semakin sering terjadi, masing-masing mati-matian membela teritorial dan kepentingan politik tuannya, korbanpun berjatuhan, Kingston pun menjadi medan perang. Opini publik pun langsung menghakimi para Rude boy dan meyerukan pelucutan senjata dan penangkapan para Rude boy secara besar-besaran. Akibatnya tak sedikit dari mereka yang di jebloskan ke penjara tanpa proses pengadilan yang benar, dan yang lebih menyakitkan para politisi yang mereka bela sama sekali tidak membela mereka, bahkan malah memojokkan mereka, Politik dan segala tipu dayanya memang tak ada untungnya bagi budaya apapun. Para musisi ska yang mempunyai hubungan erat dgn para Rude boy segera merespon hal ini, mereka menciptakan lagu-lagu yang membela para Rude boy, namun sekaligus melakukan penyadaran terhadap mereka melalui lirik lagu mereka seperti 007 shanty town ( Desmond Dekker), Too hot (Prince Buster), Rougher than rough (Derrick morgan), Cry though ( Alton ellis), serta yg paling legendaris Rudy, a message to you (Dandy livingstone) yang kelak di populerkan kembali oleh The Specials. Keadaan Jamaika yang semakin morat marit membuat sebagian penduduknya berimigrasi ke Inggris, tentunya dgn harapan akan penghidupan yang lebih layak. Para imigran inilah yang membawa budaya kulit hitam Jamaika terutama musik Ska/ Rocksteady/Reggae ke negeri berbendera Union Jack tersebut. Di antara mereka bahkan ada beberapa musisi kenamaan Jamaika seperti Laurel Aitken yang kelak di sebut-sebut sebagai The God Father of Ska dan Rico Rodrigues seorang pemain trombone yang pernah bergabung dgn band ska pertama di dunia The Skatalites, dan tentunya beberapa Rude boy pun ikut dalam gelombang imigrasi ini, di sinilah mereka bertemu dgn budaya anak muda kulit putih Inggris yg menamakan dirinya Mods…., and the story continues…

SEX PISTOLS


Malcolm McLaren, adalah seorang bos butik di London dan juga merupakan
pengurus band New York Dolls yang sedang mencari ide untuk membuat suatu band yang dapat menyebarkan ide² anarkisnya, sehingga pada akhirnya Ia bertemu dengan Johnny Rotten, Glen Matlock, Steve Jones & Paul Cook dan membangun Sex Pistols di Inggris.
Sex Pistols diresmikan pada tahun 1975 di Inggris dan Malcolm McLaren-lah orang yang bertanggungjawab membangun band ini.
Sex Pistols merupakan band Punk yang pertama di Inggris dan juga dinobatkan sebagai band Punk legenda oleh dunia. Ini karena kehadiran mereka telah menyemarakkan lagi scene Punk di Inggris pada masa itu.

Membawakan musik keras juga dengan lagu² yang penuh kontroversi dan anti kerajaan. Lagu² mereka yg menjadi kontroversi di Inggris pada masa itu adalah seperti lagu 'Anarchy In The UK' dan 'God Save The Queen' telah diharamkan oleh BBC @ Britain Broadcasting ketika itu.

Orang yg bertanggungjawab merilis dan mencipta lagu 'Anarchy In The UK' dan 'God Save The Queen' sebenarnya adalah Glen Matlock yaitu bassis kumpulan ini dan melalui lagu inilah reputasi band Sex Pistols meningkat dan menjadi terkenal. Tetapi setelah itu Glen Matlock keluar dari band ini karena ingin membangun Iggy Pop & The Rich Kids dan Ia diganti oleh Sid Vicious.

Kehadiran Sid telah membuat popularitas band ini terus melonjak naik dan menjadi bertambah rebellious. Ini munkin karena disebabkan sifat Sid sendiri yang extreme aggresive dan ganas sesuai dengan imej Sex Pistols. Sebenarnya Sid juga banyak memperlihatkan aksi² yang ganas dan kurang ajar ketika di panggung. Contohnya, suka meludah dan kencing di atas panggung sehingga membuat Menteri Pendidikan Inggris pada masa itu mengecam dan mencap mereka sebagai 'Agen Keruntuhan Moral Masyarakat'.

Sid juga banyak merubah imej dan penampilan kumpulan ini. Ini kerana banyak yang mengatakan bahwa Sid-lah yang telah memperkenalkan fashion rambut mohawk. Contohnya ketika Sid muncul pertama kali di siaran TV Inggris dengan model rambut Mohawk ini. Dan selain Sid, Vivien Westwood yaitu isteri Malcolm McLaren juga telah memperkenalkan model mohawk ini dan telah menjadi trend sampai sekarang.

Sex Pistols akhirnya jatuh pada tahun 1978 disebabkan oleh kematian Sid kerana OD (Drugs Overdose). Walaupun begitu, mereka merupakan sebuah band Punk legendaris. Kemunculan dan kehadiran mereka telah menjadi idola dan panutan bagi sekumpulan besar followers²/pengikutnya dan band-band Punk hingga hari ini.

Di dalam line up Sex Pistols nama Sid menjadi sebutan dan tidak lekang dari bibir follower² Punkers jika dibandingkan dengan line up yg lain. Ini mungkin karena diantara mereka Sid Vicious lebih berbakat. Penampilannya bukan dari segi imejnya saja tetapi juga pada sifatnya yang bisa dibilang sebagai Roll Model Sex Pistols.

•Sex Pistols (1975-1978).

BAND PUNK LEGENDARIS


THE CLASH

"In 1977 I hope I go to heaven 'Cos I been too long on the dole and I can't work at all. Danger stranger You better paint your face No Elvis, Beatles or the Rolling Stones".

(1977 - Strummer/Jones)

The Clash muncul dari ledakan punk Inggris tahun 1977. Dalam waktu singkat, mereka membuktikan diri sebagai band punk terbaik. Kemampuan skill mereka mengarahkan mereka ke pembuatan album dengan berbagai genre musik dari punk, hard rock, rockabilly sampai ke reggae dan ska. Berbeda dengan lirik Ramones yang sederhana dan lirik Sex Pistols yang nihilistis, lirik The Clash menunjukkan kematangan politik yang luas. Disertai aksi panggung yang intensif, The Clash menjadi satu-satunya band punk Inggris yang menaklukkan Amerika dan merubah gaya hidup dan mode satu generasi. Tidak mengherankan pada era akhir 1970an dan awal 1980an, The Clash disambut media sebagai band terhebat dunia. Band-band dari U2 dan R.E.M. sampai ke Green Day dan Sum 41 menyatakan The Clash merupakan sumber pengaruh atas musik mereka.
Grup ini dibentuk di London tahun 1976 dan terdiri dari Joe Strummer pada vokal dan rhythm guitar, Mick Jones pada vokal dan lead guitar, Keith Levene pada lead guitar, Paul Simonon pada bass dan vokal dan Terry Chimes (atau Tory Crimes) pada drum. Joe Strummer sebelumnya bermain dalam band pub rock The 101er, sedangkan Mick Jones dan Paul Simonon bermain di band proto-punk London SS. Atas imbauan manager Bernie Rhodes, maka Mick Jones, Keith Levene dan Paul Simonon menemui Joe Strummer sehabis gig dan mengajak dia bergabung dengan mengatakan, “Anda hebat tetapi band anda loyo.” Strummer setuju untuk bergabung.
Nama The Clash disarankan Paul Simonon karena merupakan kata yang sering muncul di koran. Setelah dibentuk, Keith Levene meninggalkan The Clash setelah beberapa gig sebelum band membuat rekaman dengan alasan yang tidak jelas. Dia di kemudian hari bergabung dengan Public Image Ltd.
Gig pertama diadakan tahun 1976 dengan mendukung Sex Pistols. Setelah itu, The Clash bergabung ke CBS. CBS rilis single pertama “White Riot” dan album pertama The Clash pada tahun 1977 di UK dengan kesuksesan yang lumayan. Pada awalnya, CBS tidak berencana merilis album tersebut di AS, namun setelah The Clash versi UK menjadi album impor terlaris sepanjang masa di AS, mereka pun rilis album tersebut dalam versi AS pada tahun 1979.
Setelah album pertama, drummer Terry Chimes diganti Nick “Topper” Headon, seorang drummer handal. Headon sebelumnya hanya ingin bermain sementara dengan The Clash sebelum menemukan grup yang lebih baik. Namun tidak lama kemudian, potensi besar band ini terlihat dan Headon pun menetap hingga 1982, sebuah periode yang paling kreatif dan sukses bagi The Clash. Album kedua, Give ‘Em Enough Rope yang diproduksi Sandy Pearlman, merupakan album pertama The Clash dengan Headon. Pearlman yang juga produser Blue Oyster Cult sangat terkesan oleh ketepatan ritme Headon dan menyebutkannya sebagai “The Human Drum Machine”. Rope dirilis 1978 dan langsung mencapai no 2 di chart UK namun gagal masuk ke top 100 AS.

Seperti grup punk yang lain, The Clash memprotes gaya hidup monarki dan kaum bangsawan di UK dan di belahan dunia lainnya. Akan tetapi, tidak seperti band punk lain, The Clash tidak menganut sentimen nihilisme dan sebaliknya, mereka menunjukan solidaritas ke beberapa pergerakan liberalisme yang sedang aktif di saat itu. Pemikiran politik mereka disalurkan secara eksplisit melalui lirik, seperti lagu “White Riot” yang menganjurkan kaum muda berkulit putih turut berpartisipasi dalam kegiatan politik seperti kaum muda berkulit hitam, “Career Opportunities” yang memprotes tingginya angka pengangguran di UK pada saat itu dan “London’s Burning” yang mengkritik keangkuhan partai tertentu.
Dalam satu pertunjukan Rock Against Racism yang dikoordinasi oleh Anti-Nazi League tahun 1978, Strummer memakai t-shirt kontroversi dengan tulisan “Brigate-Rosse”. Dia dikemudian hari menjelaskankan pemakaian t-shirt tersebut bukan bertujuan mendukung teroris sayap kiri, tetapi untuk menarik perhatian atas eksistensi mereka. Setelah itu, Strummer tetap merasa tidak enak atas kejadian itu dan menuliskan lagu “Tommy Gun” untuk mendukung aksi protes tanpa kekerasan.
Selain terlibat langsung dalam kegiatan Anti-Nazi League dan Rock Against Racism, The Clash menawarkan dukungan terhadap Sandinista di Amerika Selatan.
Sewaktu pembuatan album London Calling tahun 1979, The Clash berusaha keras untuk mempertahankan energi punk sambil meningkatkan kualitas permainan. Mereka berjaga sikap atas ketenaran besar yang dicapai supaya tidak berjarak dengan penggemar lama, yang sering dipersilahkan masuk ke ruang belakang setelah pertunjukan.
Titel London Calling diambil dari pernyataan penyiar Amerika “This is London Calling” sewaktu Perang Dunia Kedua. Lagu “London Calling” menceritakan masa suram Inggris di saat itu dan mengimbau pendengar untuk keluar dari ketergantungan narkoba dan memperjuangkan nasib baru.
The Clash dianggap sebagai band berideologi dan berwawasan luas untuk pendengar intelektual. Mereka tidak bekerja sepenuhnya demi uang. Meskipun di masa puncak, harga tiket dan souvenir dijaga tetap terjangkau. Mereka mengharuskan CBS menjual double-album London Calling dan triple-album Sandinista! dengan harga single-album yakni 5 pound pada saat itu. CBS setuju dengan harga tersebut untuk London Calling dan mematok harga 6 pounds untuk Sandinista, dengan syarat tanpa royalty untuk The Clash dalam penjualan 200.000 unit pertama. Prinsip value for money ini membuat mereka berhutang ke CBS dan baru mencapai impas pada tahun 1982.
London Calling dipandang sebagai puncak kesuksesan The Clash oleh kritikus. Selain gaya musik punk, album ini menampilkan permainan berbagai gaya musik termasuk rockabilly, reggae dan ska. Ska akhirnya menjadi satu pergerakan musik di Inggris dan dunia. London Calling dianggap sebagai salah satu album rock terbaik yang pernah dibuat oleh hampir semua media.
Triple-album Sandinista menyusul pada tahun 1980, yang terdengar The Clash memainkan lebih banyak gaya musik, dari rockabilly, reggae dan dub sampai jazz (“Look Here”), chamber music (“Rebel Waltz”), hip hop (“The Magnificent Seven”) sampai ke kumpulan tape loop (“Mensforth Hill”) ala “Revolution No. 9”nya The Beatles. Fans di UK mulai bingung dan penjualan turun akan tetapi hal yang sebaliknya terjadi di AS. Setelah Sandinista! dirilis, The Clash memulai tur dunia pertama yang mencakup Asia dan Australia.
Tahun 1982, The Clash kembali dengan album best-selling mereka, Combat Rock, dengan dua single populer “Rock the Casbah” dan “Should I Stay or Should I Go” yang menjebol ke Top 10AS maupun UK. Lagu “Ghetto Defendant” menampilkan pembacaan syair oleh Allen Ginsberg, penyair Amerika dari era Beat Generation.
Setelah Combat Rock, The Clash mulai disintergrasi. Headon dipecat karena kecanduan heroin namun secara resmi diumumkan sebagai perbedaan politik. Drummer awal Terry Chimes diajak untuk bergabung dalam beberapa tur. Strummer dan Jones mulai bertengkar. Chimes meninggalkan band setelah tur Combat Rock 1982-1983 dengan keyakinan band tidak dapat berjalan lagi dengan konflik yang berlangsung. Tahun 1983, The Clash mencari drummer secara intensif, Pete Howard di rekruit dan bermain dengan The Clash didepan audiens terbesar yang pernah mereka alami dalam US Festival di San Bernardino. Pertunjukan tersebut merupakan pertunjukan terakhir Mick Jones dengan The Clash.
September 1983, Strummer dan Simonon memecat Jones dengan alasan perilaku bermasalah dan aspirasi musik yang berbeda. Kehilangan Jones berperan besar dalam kejatuhan band. Jones kemudian membentuk Big Audio Dynamite.
Strummer dan Simonon mengadakan audisi dan merekruit gitaris muda Nick Sheppard dan Vince White. The Clash baru memulai tur pertama pada Januari 1984 dengan materi baru dan biaya yang ditanggung sendiri. Tur dinamakan Out of Control Tour. Secara musikal, lineup baru ini sanggup menciptakan kembali intensitas dari lineup orisinil, namun kimiawi antara anggota lama dan baru kurang bersinergi. Band menjalankan tur terus menerus dan menyatakan album baru sudah siap dirilis.
Cut the Crap dirilis dengan sambutan dingin, meskipun menempati posisi lebih tinggi dari album pertama Big Audio Dynamite di chart AS. Cut the Crap kemudian dihilangkan dari sejarah The Clash dan hanya “This Is England” yang disertai dalam album kompilasi. Disilusi dengan Cut the Crap, Strummer membawa band mengamen keliling Inggris dan Skotlandia, bermain gratis dipinggir jalan dan bar. Show terakhir diadakan tahun 1985 di Europe Festival dan setelah itu Joe Strummer membubarkan The Clash.

Album :
1977 The Clash
1978 Give 'Em Enough Rope
1979 London Calling
1980 Black Market Clash
1980 Sandinista!
1982 Combat Rock
1985 Cut the Crap
1999 From Here to Eternity Live (Live)

Single :
1977 White Riot
1977 Capital Radio One
1977 Remote Control
1977 Complete Control
1978 Clash City Rockers
1978 (White Man) In Hammersmith Palais
1978 Tommy Gun
1979 English Civil War
1979 I Fought the Law
1979 London Calling
1980 Bank Robber
1980 The Call Up
1981 Histville U.K.
1981 The Magnificent Seven
1981 This Is Radio Clash
1982 Know Your Rights
1982 Rock The Casbah
1982 Should I Stay Or Should I Go
1985 This Is England

jenis-jenis punk


Komunitas yang satu ini memang sangat berbeda sendiri dibandingkan dengan komunitas pada umumnya. Banyak orang yang menilai bahwa komunitas yang satu ini termasuk salah satu komunitas yang urakan, berandalan dan sebagainya. Namun jika dicermati lebih dalam banyak sekali yang menarik yang dapat Anda lihat di komunitas ini. Punk sendiri terbagi menjadi beberapa komunitas-komunitas yang memiliki ciri khas tersendiri, terkadang antara komunitas yang satu dengan komunitas yang lain juga sering terlibat masalah. Walaupun begitu mungkin beberapa komunitas Punk di bawah ini dapat mempengaruhi kehidupan Anda sehari-hari.

Berikut adalah beberapa jenis dari komunitas punk,masalah bener apa enggaknya saia minta kritik dan saran dari teman-teman pembaca VIVA LA PUNK

Punk Community Anarcho Punk

Komunitas Punk yang satu ini memang termasuk salah satu komunitas yang sangat keras. Bisa dibilang mereka sangat menutup diri dengan orang-orang lainnya, kekerasan nampaknya memang sudah menjadi bagiandari kehidupan mereka. Tidak jarang mereka juga terlibat bentrokan dengan sesama komunitas Punk yang lainnya. Anarcho Punk juga sangat idealis dengan ideologi yang mereka anut. Ideologi yang mereka anut diantaranya, Anti Authoritarianism dan Anti Capitalist.Crass, Conflict, Flux Of Pink Indians merupakan sebagian band yang berasal dari Anarcho Punk.

Crust Punk

Jika Anda berpikir bahwa Anarcho Punk merupakan komunitas Punk yang sangat brutal, maka Anda harus menyimak yang satu ini. Crust Punk sendiri sudah diklaim oleh para komunitas Punk yang lainnya sebagai komunitas Punk yang paling brutal. Para penganut dari faham ini biasa disebut dengan Crusties. Para Crusties tersebut sering melakukan berbagai macam pemberontakan dalam kehidupan mereka sehari-hari. Musik yang mereka mainkan merupakan penggabungan dari musik Anarcho Punk dengan Heavy Metal. Para Crusties tersebut merupakan orang-orang yang anti sosial, mereka hanya mau bersosialisasi dengan sesama Crusties saja.

Glam Punk

Para anggota dari komunitas ini merupakan para seniman. Apa yang mereka alami dalam kehidupan sehari-hari sering mereka tuangkan sendiri dalam berbagai macam karya seni. Mereka benar-benar sangat menjauhi perselisihan dengan sesama komunitas atau pun dengan orang-orang lainnya.

Hard Core Punk

Hard Core Punk mulai berkembang pada tahun 1980an di Amerika Serikat bagian utara. Musik dengan nuansa Punk Rock dengan beat-beat yang cepat menjadi musik wajib mereka. Jiwa pemberontakan juga sangat kental dalam kehidupan mereka sehari-hari, terkadang sesama anggota pun mereka sering bermasalah.

Nazi Punk

Dari sekian banyaknya komunitas Punk, mungkin Nazi Punk ini merupakan sebuah komunitas yang benar-benar masih murni. Faham Nazi benar-benar kental mengalir di jiwa para anggotanya. Nazi Punk ini sendiri mulai berkembang di Inggris pada tahun 1970an akhir dan dengan sangat cepat menyebar ke Amerika Serikat. Untuk musiknya sendiri, mereka menamakannya Rock Against Communism dan Hate Core.

The Oi

The Oi atau Street Punk ini biasanya terdiri dari para Hooligan yang sering membuat keonaran dimana-mana, terlebih lagi di setiap pertandingan sepak bola. Para anggotanya sendiri biasa disebut dengan nama Skinheads. Para Skinheads ini sendiri menganut prinsip kerja keras itu wajib, jadi walaupun sering membuat kerusuhan mereka juga masih memikirkan kelangsungan hidup mereka. Untuk urusan bermusik, para Skinheads ini lebih berani mengekspresikan musiknya tersebut dibandingakan dengan komunitas-komunitas Punk yang lainnya. Para Skinheads ini sendiri sering bermasalah dengan Anarcho Punk dan Crust Punk.

Queer Core

Komunitas Punk yang satu ini memang sangat aneh, anggotanya sendiri terdiri dari orang-orang “sakit”, yaitu para lesbian, homoseksual, biseksual dan para transexual. Walaupun terdiri dari orang-orang “sakit”, namun komunitas ini bisa menjadi bahaya jika ada yang berani mengganggu mereka. Dalam kehidupan, anggota dari komunitas ini jauh lebih tertutup dibandingkan dengan komunitas-komunitas Punk yang lainnya. Queer Core ini sendiri merupakan hasil perpecahan dari Hard Core Punk pada tahun 1985.

Riot Grrrl

Riot Grrrl ini mulai terbentuk pada tahun 1991, anggotanya ialah para wanita yang keluar dari Hard Core Punk. Anggota ini sendiri juga tidak mau bergaul selain dengan wanita. Biasanya para anggotanya sendiri berasal dari Seattle, Olympia dan Washington DC.

Scum Punk

Jika Anda tertarik dengan Punk, mungkin ini salah satu komunitas yang layak untuk diikuti. Scum Punk menamakan anggotanya dengan sebutan Straight Edge Scene. Mereka benar-benar mengutamakan kenyamanan, kebersihan, kebaikan moral dan kesehatan. Banyak anggota dari Scum Punk yang sama sekali tidak mengkonsumsi zat-zat yang dapat merusak tubuh mereka sendiri.

The Skate Punk

Skate Punk memang masih erat hubungannya dengan Hard Core Punk dalam bermusik. Komunitas ini berkembang pesat di daerah Venice Beach California. Para anggota komunitas ini biasanya sangat mencintai skate board dan surfing.

Ska Punk

Ska Pun merupakan sebuah penggabungan yang sangat menarik antara Punk dengan musik asal Jamaica yang biasa disebut reggae. Mereka juga memiliki jenis tarian tersendiri yang biasa mereka sebut dengan Skanking atau Pogo, tarian enerjik ini sangat sesuai dengan musik dari Ska Punk yang memilikibeat-beat yang sangat cepat.

Punk Fashion

Para Punkers biasanya memiliki cara berpakaian yang sangat menarik, bahkan tidak sedikit masyarakat yang bukan Punkers meniru dandanan mereka ini. Terkadang gaya para Punkers ini juga digabungkan dengan gaya berbusana saat ini yang akhirnya malah merusak citra dari para Punkers itu sendiri. Untuk pakaiannya sendiri, jaket kulit dan celana kulit menjadi salah satu andalan mereka, namun ada juga Punkers yang menggunakan celana jeans yang sangat ketat dan dipadukan dengan kaos-kaos yang bertuliskan nama-nama band mereka atau kritikan terhadap pemerintah. Untuk rambut biasanya gaya spike atau mohawk menjadi andalan mereka. Untuk gaya rambut ini banyak orangorang biasa yang mengikutinya karena memang sangat menarik, namun terkadang malah menimbulkan kesan tanggung. Body piercing, rantai dan gelang spike menjadi salah satu yang wajib mereka kenakan. Untuk sepatu, selain boots tinggi, para Punkers juga biasa menggunakan sneakers namun hanya sneakers dari Converse yang mereka kenakan. Gaya para punkers tersebut nampaknya semakin marak dikenakan akhir-akhir ini, jika begitu mungkin Anda setuju dengan ungkapan PUNK NOT DEAD.!!

Di Balik Gaya Punk

Punk ternyata bukan hanya aliran musik yang dibawakan oleh sebagian besar anak muda di dunia ini. Adalah punk street atau yang biasa di sebut punk jalanan. Biasanya para punkers jenis ini berkelana dari satu kota ke kota yang lain di Indonesia. Tak jarang pula bahkan melewati batas pulau.

Seperti punkers street Sumatra yang melintas ke pulau Jawa. Atau bahkan sebaliknya. Berlatar usia yang berbeda-beda, juga suku-suku. Mereka tak hanya ”jalan-jalan” nggak jelas dari satu kota ke kota lain, namun juga menyerukan visi dan misi. Yakni menunjukan kepada pemerintah bahwa masih banyak rakyat yang menderita. Termasuk rakyat miskin yang seharusnya di pelihara oleh negara, namun justru semakin terlantar akibat pemerintah, dan ingin ikut merasakan penderitaan rakyat miskin yang tidak mendapat perhatian dari pemerintah itu.

Bahkan terkadang mereka para punkers street ini mengais-ngais sampah untuk mengganjal perut mereka yang lapar. Mereka melakukan itu juga sebagai bentuk nyata protes terhadap pemerintah. Mereka melakukannya bahkan sengaja di tempat dimana para orang-orang yang di sebut wakil rakyat (entah rakyat yang mana) berdinas.

Dalam kehidupan bersosialisasi dengan sesama pungkers street, dimanapun berada, mereka menganut paham equality. Tidak ada pemimpin atau yang dipimpin. Tidak seperti yang banyak orang katakan, ada semacam pemimpin dalam kelompok mereka begitu. Misalnya ada pemimpin kelompok punk di daerah ini atau itu atau semacamnya. Kembali lagi pada asas equality yang mereka anut.

Tak hanya itu, jangan coba-coba menyamakan mereka dengan punkers lainnya (band atau yang hanya bergaya punk saja). Karena mereka benar-benar berbeda. Punkers street benar-benar berada dijalan untuk menyerukan visi dan misi mereka. Hal menarik lainnya, yang dapat diungkap dari mereka adalah, meskipun mereka tampak bergerombol dimana-mana, mereka sejatinya sendiri. Maksudnya adalah bahwa mereka datang dari tempat berbeda-beda yang tidak pernah mengenal satu sama lain sebelum mereka saling bertemu.

Pertemuan yang singkat itu (biasanya mereka bersama-sama sekitar empat sampai satu minggu sebelum mereka kembali melanjutkan perjalanan masing-masing) tidak hanya sebatas pertemuan yang hanya seperti itu saja. Di tempat lain dan di waktu yang berbeda bisa saja mereka kembali bertemu. Kalau sudah begini, maka hal-hal yang biasa kita sebut melow terjadi. Seperti bertemu lagi dengan saudara yang lama tidak bertemu, maka adegan saling merangkul hingga menangis pun bisa saja terjadi. Padahal bagi orang awam, mereka ini identik dengan hal-hal yang berbau anarki. Dan sangar begitu.

Perjalanan mereka menjadi punkers street pejuang persamaan ini tentu saja banyak mengalami rintangan, tidak hanya berawal dari sulitnya keluarga menerima keputusan mereka untuk menjadi punkers street yang identik dengan anak jalanan, kelaparan di jalan. Namun hingga seringkali berurusan dengan aparat Satpol PP. Seringkali mereka harus mendekam di penjara untuk beberapa hari.

Yang lebih miris lagi adalah kenyataan bahwa mereka yang dianggap anak jalanan liar ini, seringnya tak hanya mendekam di sel lalu diberi pengarahan agar ’kembali ke jalan yang benar’. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang harus menerima bogem mentah dari para aparat itu. Seperti menjadi sasaran empuk kemarahan mereka yang lapar juga kemungkinan karena hanya mendapat gaji kecil. Namun tentunya berbeda dengan nasib para atasan mereka yang punya kedudukan tinggi dalam strukturnya.

Lalu mereka, para punkers street ini akan kembali dikeluarkan dari sel begitu saja tanpa ada semacam rehab bagi mereka. Yang lebih konyol lagi adalah, entah pada hari-hari apa banyak dari mereka sering ditangkap dan tidak dimasukan ke dalam sel seperti biasanya, namun justru di ’buang’ ketempat lain yang jauh begitu saja dengan enaknya. Entah ini semacam ritual bagi para aparat Satpol PP untuk mencari muka, karena sudah dianggap menertibkan. Hingga bisa saja mendapat kenaikan gaji atau apa lah.

Namun inilah yang membuat mereka semakin benci kepada pemerintah, entah mungkin karena seringnya disamakan dengan anak jalanan lalu ditangkap, digebukin, lalu dimasukan ke dalam sel atau di tangkap lalu dibuang begitu saja atau justru karena pemerintah yang seenaknya saja. Tanpa prosedur yang jelas yang sudah tertulis di undang-undang, menangkapi mereka bak binatang buas yang harus di basmi begitu. Yang jelas sikap ketidaksukaan mereka pada pemerintah nampak jelas dengan aksi-aksi protes yang mereka lakukan, salah satunya mungkin dengan mengais sampah di depan kantor pemerintahan untuk menunjukan pada para wakil rakyat itu bahwa masih banyak rakyat menderita dan kelaparan, seperti yang saya sebut diatas.

Mungkin juga kebencian mereka terhadap pemerintah ini berawal dari penangkapan oleh aparat dengan strata rendah (yang sudah berulah seenaknya juga mungkin pikir mereka) hingga melihat kemiskinan dan akibat dari kemiskinan itu di Indonesia yang semakin menjadi oleh sebab pemerintah juga.

Bahkan aksi protes mereka terhadap pemerintah juga mereka tunjukan melalui atribut yang mereka kenakan. Baju, celana, hingga emblem yang mereka tempel di mana-mana (kaos, celana, bahkan sepatu). Mereka yang tidak pernah merasa di beri sesuatu dari pemerintah, namun justru pemerintah yang banyak mengambil dari mereka.

Sepertinya mencoba mengatakan bahwa mereka tidak butuh produk yang melambangkan kerakusan pemerintah. Mereka membuat emblem mereka sendiri, yang tentunya bergambar apa yang menjadi keyakinan mereka. Juga baju dan celana. Seperti tulisan-tulisan di baju mereka yang banyak mengecam kemapanan. Juga bentuk celana yang mereka kenakan. Yang kini malah menjadi trend baru dikalangan anak muda Indonesia.

Awalnya mereka ingin menciptakan produk mereka sendiri, yang berbeda dari orang lain, yang juga sebagai bentuk nyata protes terhadap kemapanan. Seperti celana yang mereka jahit sendiri, yang memiliki bentuk atau potongan yang berbeda dari celana-celana jeans yang merajai pasar. Juga gambar dan bentuk potongan kaos mereka.

Dan banyak sekali produk tiruan gaya a la mereka yang merambah luas dipasaran dan kalangan muda-mudi, kemudian membuat mereka sedih. Identitas mereka mungkin yang merasa di jiplak, tapi hanya menjiplak luarnya saja tanpa menjiplak dan turut mengamalkan apa yang mereka yakini juga terhadap perbedaan bentuk celana, baju, hingga gambar-gambar dan tulisan-tulisan pada emblem-emblem mereka ini.

Bahkan yang menjadi ketakutan mereka lagi adalah bahwa apa yang menjadi visi dan misi mereka ini akan dianggap angin lalu saja. Atau bahkan tidak akan dianggap sama sekali, dan mereka akan disamakan saja dengan anak-anak lain yang sedang mencari identitas diri atau para anak jalanan liar yang tidak diperhatikan sama sekali oleh pemerintah dan bahkan dianggap sebagai sampah masyarakat. Hingga apa yang mereka perjuangkan akan sia-sia.

Apa Itu PUNK? PUNK...


Punk merupakan sub-budaya yang lahir di London, Inggris. Pada awalnya, kelompok punk selalu dikacaukan oleh golongan skinhead. Namun, sejak tahun 1980-an, saat punk merajalela di Amerika, golongan punk dan skinhead seolah-olah menyatu, karena mempunyai semangat yang sama. Namun, Punk juga dapat berarti jenis musik atau genre yang lahir di awal tahun 1970-an. Punk juga bisa berarti ideologi hidup yang mencakup aspek sosial dan politik.

Gerakan anak muda yang diawali oleh anak-anak kelas pekerja ini dengan segera merambah Amerika yang mengalami masalah ekonomi dan keuangan yang dipicu oleh kemerosotan moral oleh para tokoh politik yang memicu tingkat pengangguran dan kriminalitas yang tinggi. Punk berusaha menyindir para penguasa dengan caranya sendiri, melalui lagu-lagu dengan musik dan lirik yang sederhana namun terkadang kasar, beat yang cepat dan menghentak.

Banyak yang menyalahartikan punk sebagai glue sniffer dan perusuh karena di Inggris pernah terjadi wabah penggunaan lem berbau tajam untuk mengganti bir yang tak terbeli oleh mereka. Banyak pula yang merusak citra punk karena banyak dari mereka yang berkeliaran di jalanan dan melakukan berbagai tindak kriminal.

Punk lebih terkenal dari hal fashion yang dikenakan dan tingkah laku yang mereka perlihatkan, seperti potongan rambut mohawk ala suku indian, atau dipotong ala feathercut dan diwarnai dengan warna-warna yang terang, sepatu boots, rantai dan spike, jaket kulit, celana jeans ketat dan baju yang lusuh, anti kemapanan, anti sosial, kaum perusuh dan kriminal dari kelas rendah, pemabuk berbahaya sehingga banyak yang mengira bahwa orang yang berpenampilan seperti itu sudah layak untuk disebut sebagai punker.

Punk juga merupakan sebuah gerakan perlawanan anak muda yang berlandaskan dari keyakinan we can do it ourselves. Penilaian punk dalam melihat suatu masalah dapat dilihat melalui lirik-lirik lagunya yang bercerita tentang masalah politik, lingkungan hidup, ekonomi, ideologi, sosial dan bahkan masalah agama.

Gaya hidup dan Ideologi

Psikolog brilian asal Rusia, Pavel Semenov, menyimpulkan bahwa manusia memuaskan kelaparannya akan pengetahuan dengan dua cara. Pertama, melakukan penelitian terhadap lingkungannya dan mengatur hasil penelitian tersebut secara rasional (sains). Kedua, mengatur ulang lingkungan terdekatnya dengan tujuan membuat sesuatu yang baru (seni).
Dengan definisi diatas, punk dapat dikategorikan sebagai bagian dari dunia kesenian. Gaya hidup dan pola pikir para pendahulu punk mirip dengan para pendahulu gerakan seni avant-garde, yaitu dandanan nyleneh, mengaburkan batas antara idealisme seni dan kenyataan hidup, memprovokasi audiens secara terang-terangan, menggunakan para penampil (performer) berkualitas rendah dan mereorganisasi (atau mendisorganisasi) secara drastis kemapanan gaya hidup. Para penganut awal kedua aliran tersebut juga meyakini satu hal, bahwa hebohnya penampilan (appearances) harus disertai dengan hebohnya pemikiran (ideas).

Punk selanjutnya berkembang sebagai buah kekecewaan musisi rock kelas bawah terhadap industri musik yang saat itu didominasi musisi rock mapan, seperti The Beatles, Rolling Stone, dan Elvis Presley. Musisi punk tidak memainkan nada-nada rock teknik tinggi atau lagu cinta yang menyayat hati. Sebaliknya, lagu-lagu punk lebih mirip teriakan protes demonstran terhadap kejamnya dunia. Lirik lagu-lagu punk menceritakan rasa frustrasi, kemarahan, dan kejenuhan berkompromi dengan hukum jalanan, pendidikan rendah, kerja kasar, pengangguran serta represi aparat, pemerintah dan figur penguasa terhadap rakyat.

Akibatnya punk dicap sebagai musik rock n’ roll aliran kiri, sehingga sering tidak mendapat kesempatan untuk tampil di acara televisi. Perusahaan-perusahaan rekaman pun enggan mengorbitkan mereka.

Gaya hidup ialah relatif tidak ada seorangpun memiliki gaya hidup sama dengan lainnya. Ideologi diambil dari kata "ideas" dan "logos" yang berarti buah pikiran murni dalam kehidupan. Gaya hidup dan ideologi berkembang sesuai dengan tempat, waktu dan situasi maka punk kalisari pada saat ini mulai mengembangkan proyek "jor-joran" yaitu manfaatkan media sebelum media memanfaatkan kita. Dengan kata lain punk berusaha membebaskan sesuatu yang membelenggu pada zamannya masing-masing.

Punk dan Anarkisme

Kegagalan Reaganomic dan kekalahan Amerika Serikat dalam Perang Vietnam di tahun 1980-an turut memanaskan suhu dunia punk pada saat itu. Band-band punk gelombang kedua (1980-1984), seperti Crass, Conflict, dan Discharge dari Inggris, The Ex dan BGK dari Belanda, MDC dan Dead Kennedys dari Amerika telah mengubah kaum punk menjadi pemendam jiwa pemberontak (rebellious thinkers) daripada sekadar pemuja rock n’ roll. Ideologi anarkisme yang pernah diusung oleh band-band punk gelombang pertama (1972-1978), antara lain Sex Pistols dan The Clash, dipandang sebagai satu-satunya pilihan bagi mereka yang sudah kehilangan kepercayaan terhadap otoritas negara, masyarakat, maupun industri musik.

Di Indonesia, istilah anarki, anarkis atau anarkisme digunakan oleh media massa untuk menyatakan suatu tindakan perusakan, perkelahian atau kekerasan massal. Padahal menurut para pencetusnya, yaitu William Godwin, Pierre-Joseph Proudhon, dan Mikhail Bakunin, anarkisme adalah sebuah ideologi yang menghendaki terbentuknya masyarakat tanpa negara, dengan asumsi bahwa negara adalah sebuah bentuk kediktatoran legal yang harus diakhiri.

Negara menetapkan pemberlakuan hukum dan peraturan yang sering kali bersifat pemaksaan, sehingga membatasi warga negara untuk memilih dan bertanggung jawab atas pilihannya sendiri. Kaum anarkis berkeyakinan bila dominasi negara atas rakyat terhapuskan, hak untuk memanfaatkan kekayaan alam dan sumber daya manusia akan berkembang dengan sendirinya. Rakyat mampu memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri tanpa campur tangan negara.

Kaum punk memaknai anarkisme tidak hanya sebatas pengertian politik semata. Dalam keseharian hidup, anarkisme berarti tanpa aturan pengekang, baik dari masyarakat maupun perusahaan rekaman, karena mereka bisa menciptakan sendiri aturan hidup dan perusahaan rekaman sesuai keinginan mereka. Punk etika semacam inilah yang lazim disebut DIY (do it yourself/lakukan sendiri).

Keterlibatan kaum punk dalam ideologi anarkisme ini akhirnya memberikan warna baru dalam ideologi anarkisme itu sendiri, karena punk memiliki ke-khasan tersendiri dalam gerakannya. Gerakan punk yang mengusung anarkisme sebagai ideologi lazim disebut dengan gerakan Anarko-punk.


Oi! Music...

Oi! berarti hello dalam aksen cockney di Inggris. Oi! musik bermula di akhir 70-an setelah kemunculan Punk Rock. Ketika gelombang pertama punk menyerang, band seperti Sham69, The Business, dan Cock Sparrer sudah bernyanyi tentang hidup di jalanan di saat Sex Pistols mencoba memulai "Anarchy In the Uk". Lalu reality punk atau street punk dimulai dengan Sham 69 dan Sparrer, seperti juga Slaughter and The Dogs juga Menace.

Oi! adalah musik untuk semua dan semua orang yang berjalan di jalanan kota dan melihat rendah pada kaum elit dapat dihubungkan dengan Oi!. Semua orang yang bekerja sepanjang hari sebagai budak gaji dapat dihubungkan dengan Oi!. Semua orang yang selalu merasa berbeda, juga dapat dihubungkan dengan Oi!. Musik Oi! tidak memandang perbedaan ras, warna, dan kepercayaan. "Oi! music is about having a laugh and having a say, plain and simple...."

Oi! Di Indonesia

Di Bandung sendiri, Oi! dimulai pertengahan 90-an diawali dengan Runtah. Ketika terjadi booming Ska di Indonesia, bermunculan banyak Skinhead, entah mereka hanya poseurs, trendy wankers ataupun a true SKINHEAD itselfs. Seiring dengan "mati"-nya tren ska karena dihantam secara dahsyat oleh major label, maka menghilang pulalah Skinhead. Tapi ingat, setiap hilangnya suatu tren bukan berarti hilang pula subkultur yang tercipta atau terbawa oleh trend tersebut. Walaupun sedikit, tapi Skinhead di Indonesia, di Bandung khususnya still going strong and getting bigger. Ada beberapa organisasi Skinhead di dunia yang masuk ke Indonesia. Antara lain adalah Red Anarchist Skinhead dan Skinhead Against Racial Prejudice. Bahkan Neo-Nazi Skinhead sendiri ada di negara kulit berwarna seperti Indonesia ini. Beberapa gelintir Skinhead Rasis ini terlihat di Bandung dan Jakarta. Di Yogyakarta para Skinhead umumnya sudah mengerti asal muasal sub Kultur ini. Di Jogja beberapa skinhead memainkan ska selain Oi! dan Hardcore.

Sampai saat ini sudah banyak sekali band Oi! di Bandung, seperti Haircuts, Rentenir, Battle 98, The Real Enemy, Sanfranskins, One Voice, dan banyak lagi. Karena gelombang Skinhead Rasis yang mulai meresahkan maka beberapa skinhead non-rasis dan anti rasis dari beberapa band Oi! di bandung seperti The Real Enemy & Rentenir, membuat sebuah band bernama Combat 34 yang sangat anti rasis, nama band ini adalah ejekan untuk skinhead rasis di Jakarta yg menamakan diri COMBAT 18 Indonesia, lagu-lagu mereka bercerita tentang apa gunanya jadi rasis di Indonesia, ajakan berkelahi untuk para skinhead rasis, dan pastinya juga tentang sepak bola, perkelahian di jalan, dengan moto mereka "Sometimes Anti-Social but Always Anti-Racist". Band-band ini sudah merilis beberapa kompilasi dan mini album di bawah naungan United Races Records. Skinhead di Bandung sering terlihat di workers store di gedung Miramar lantai dasar sebelah Palaguna. Sekarang Gd. Miramar ini sudah tidak ada, dan kita dapat menemui mereka di P.I. (Pasar Induk) yang berlokasi di belakang mal Bandung Indah Plaza. Jangan lupakan kota pelajar, Yogyakarta, disini ada banyak band2 Oi!/streetpunk, mereka masing2 memiliki ciri yang berbeda antar bandnya, seperti Captain Oi!, Sardonic, Dom 65, Elang Bondol, Selokan Mataram, Bala Nusantara dan masih banyak lagi, selain banyak yang sudah RIP, band2 ini berada di bawah naungan Realino Records, Ruckson Music (milik salah satu personel Dom 65), Unite n Strong. skinhead di Yogyakarta dapat ditemui di daerah jalan Mataram. Ada beberapa album baik full ataupun kompilasi yang telah beredar.

Di Jakarta sendiri scene skinhead cukup berkembang dengan baik. Kita dapat menemui banyak skinhead di seputaran kota ini. Mulai dari Trad Skins, SHARP Skins, sampai yang Rasis pun ada. Band-band Oi! asal Jakarta antara lain adalah The End, Anti-Squad, Garuda Botak, the Gross, the Bretel, dan lainnya.